Cari Blog Ini

Cari Blog Ini

Sabtu, 18 Juni 2011

> NIAT dan KETULUSAN

     Introspeksi dalam segala hal dan dalam segala bidang sangat diperlukan oleh siapa saja yang ingin menjadi lebih baik. Tidak terkecuali bagi orang-orang yang menfokuskan hidupnya untuk mencari ridho Allah. Sebelum introspeksi dilakukan, diperlukan kesadaran diri, kerelaan diri untuk menanggalkan semua prasangka baik dan prasangka buruk yang ada di dalam diri seseorang. Diperlukan pula kerelaan seseorang yang akan melakukan introspeksi untuk “mencurigai” setiap pendapat yang selama ini dianggap baik yang telah ada pada dirinya.
     Banyak sekali perilaku “penyembah” Tuhan tidak menyadari bahwa yang sebenarnya disembah dan diagungkan, setelah diteliti secara lembut, ternyata bukan Tuhan melainkan nafsunya sendiri atau angan-angannya sendiri.
      Bagaimana bisa sampai demikian?
      Mari kita fokuskan perhatian kita kepada rasa kita yang mengalir di seluruh aliran darah lalu sinkronkan dengan  tata krama terhadap Tuhan. Apakah menurut suara nurani di dalam dada kita, apa yang telah kita lakukan, apa yang kita anggap benar selama ini sudah betul-betul benar di ‘hadapan’ Tuhan (bc: diridhoi Tuhan)? Pada tahap ini, pemahaman syariat sudah berlalu. Maksudnya berlalu adalah bahwa ajaran syariat sudah dipahami dan sudah dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
     Setelah syariat sudah dengan baik dilaksanakan, baru ‘memandang’ ke dalam RASA diri, apakah perilaku syariat yang kita lakukan sudah tulus sampai ‘menembus’ rasa jiwa (rasa di dalam rasa) kita? Apakah yang sesungguhnya kita harapkan dari setiap bentuk kepatuhan yang kita lakukan selama ini? Apa yang kita harapkan dari setiap ‘ritual’ ketuhanan yang kita lakukan selama ini?
     Banyak sekali para “pencari” Tuhan yang terjebak kepada “penyembahan” terhadap nafsunya sendiri. Misalnya, setelah aku demikian dan demikian, maka hatiku menjadi tenteram. Setelah aku demikian dan demikian jiwaku terasa sejuk. Setelah demikian dan demikian aku menjadi bisa demikian dan seterusnya. Ada lagi yang model aku akan berlaku, lelaku, menjalankan ritual tertentu, (puasa, sholat dzikir, zakat, haji,dsb) agar demikian ( agar terang hati, agar tenteram, agar bisa mempunyai kelebihan tertentu dst.). Ada juga yang model aku melakukan ini (seakan-akan) semata-mata karena Tuhan (lillahita’ala).
     Mari kita teliti dengan jujur semua itu.
     Yang dinamakan lillahita’ala, Bismillah, itu melakukan segala sesuatu, apapun bentuknya semata-mata karena Tuhan, bukan karena yang lain, apapun alasannya. Tetapi seringkali kita terjebak oleh kata-kata tersebut. Yang dimaksud “terjebak” adalah melakukan sesuatu yang bukan karena Tuhan, tetapi karena hal itu  kita dianggap baik dan kita rasa sesuai dengan syariat yang kita dipelajari baru kemudian kita niati lil ahita’ala. Padahal, kalau diteliti secara benar, sebenarnya kita melakukan seperti itu bukan karena Tuhan tetapi karena DIRI kita menginginkan sesuatu. Sesuatau tersebut bisa berupa kenikmatan jasmani (harta, jabatan, keselamatan,dll) juga sesuatu yang berupa kenikmatan rohani ( ketentraman, kedamaian, kekuasaan, kebisaan terhadap sesuatu yang bisa berwujud ilmu, kesaktian, kelebihan diri dari manusia yang lain yang ujung-ujungnya memuaskan rohani/nafsu)
     Apakah yang seperti itu jelek? Masalahnya bukan terletak pada baik dan tidak baik. Bisa baik dan bisa tidak, tergantung dari sisi jiwa yang mana kehendak tersebut timbul atau muncul atau berasal. Yang bisa menjawab itu semua adalah diri kita masing-masing. Untuk menjawab itu semua diperlukan kejujuran hati yang tinggi. Jangan mencari-cari alasan apalagi pembenaran terhadap apa yang kita lakukan dengan alasan atau dalil apa pun.
     Yang dinamakan Bismillah itu adalah melakukan segala sesuatu semata-mata hanya karena Tuhan. Bukan karena yang lain seperti karena malu, karena ingin ilmu, bukan karena ingin damai, bukan karena ingin tenteram, bukan karena ingin berkuasa, bukan karena ingin bahagia, bukan karena ingin sakti, bukan karena ingin dihormati, atau yang lain-lain yang selain karena Tuhan. Apa pun yang berkenaan dengan diri sendiri, sudah  dipasrahkan kepada Tuhan. Bukankah orang yang disukai Tuhan adalah orang-orang yang berserah diri kepadaNya? Artinya bukan peminta-minta dan bukan pula orang-orang yang senang protes.
     Lalu bagaimana dan di mana kedudukan berdo'a? Berdoa harus tetap kita lakukan karena itu adalah perintah tetapi apa yang kita lantunkan di dalam do’a bukan lagi meminta-minta agar keinginan kita tercapai, agar Tuhan menuruti (bc: mengabulkan) permintaan dan kehendak kita.
Do’a yang kita lantunkan di mulut, apa pun isi do'a itu, maka yang terjadi di alam rasa seharusnya adalah pujian tentang keagungan, kesucian, kekuasaan, kebesaran Tuhan dst. Yang seharusnya ada di alam rasa kita adalah sebuah kesadaran kita sebagai manusia yang dzalim, yang kotor, yang fakir, yang rendah derajat, dst. serta rasa butuh kita yang besar kepada Tuhan. Ritual berdo’a bukan lagi digunakan sebagai ajang untuk “memerintah” (bc: meminta) Tuhan untuk “melayani” kebutuhan kita tetapi dipakai sebagai ajang untuk mengagungkan dan memuji Tuhan dengan ketulusan pengagungan.
     Apakah keinginan terhadap kedamaian dan ketentraman, dsb. itu tidak boleh? Siapa yang melarang? Boleh-boleh saja tetapi sayang kan kalau hanya berhenti sampai pada kedamaian, ketentraman dan yang lain-lain yang selain Tuhan? Kedamaian dan ketentraman itu adalah ‘cahaya’ syurga. Apakah mencari syurga itu salah? Siapa yang mengatakan salah? Masalahnya bukan lagi tentang salah dan tidak salah. Masalahnya adalah karena kita ingin ‘bertemu’ Tuhan, masalahnya adalah karena kita sudah mengatakan Bismillah, masalahnya kita sudah mengatakan lillahita’ala, semata-mata HANYA karena Tuhan. Kalau kita mengatakan lillahita’ala tetapi kekuatan inti yang menggerakkan kita yang berasal dari dalam dada kita untuk berdo’a adalah karena ingin harta, misalnya, maka itu bukan lillahita’la tetapi lil harta, bukan karena Tuhan melainkan karena harta, dst. dst. Jadi, yang dimaksud lillahita’ala seharusnya tidak boleh ada alasan yang lain yang selain Tuhan..!! Padahal, kedamaian, ketentraman, ilmu, pengetahuan, kesaktian, kekuasaan, kehormatan, dll. itu bukan Tuhan. Itu semua adalah makhluk (ciptaan) Tuhan. Kalaupun dengan pujian, dengan pengagungan terhadap Tuhan, dengan keasadaran akan kekotoran kita, dengan kesadaran akan ketidakberdayaan kita, kemudian Tuhan memberikan rasa tenteram, rasa damai, kelebihan harta, kelebihan derajad, kekuasaan, dsb. Itu adalah karena anugerah dan  kehendakNya semata. Jangan menjadikan yang selain Tuhan itu sebagai tujuan kalau kita mengatakan lillahita’ala.
     Kalau sudah demikian, mari kita buka lembaran-lembaran perjalan ibadah kita masing-masing. Apa yang terjadi di dalam jiwa kita selama ini?  Apakah kita melakukan segala sesuatu tersebut semata-mata hanya karena Tuhan? Tidak adakah terselip di dalam jiwa kita agar bahagia, agar tenteram, agar dimuliakan manusia, agar sakti, agar bertambah ilmu, agar bertambah ‘harga diri’ kita, agar mencapai tujuan tertentu yang selain Tuhan.?????? Untuk menjawab semua itu, sekali lagi, sangat diperlukan kejujuran diri yang tinggi terhadap diri kita masing-masing.
     Bismillah itu artinya adalah melakukan segala sesuatu hanya dan hanya karena Tuhan semata. Tidak  ada alasan-alasan yang lain selain Tuhan. Jangan bersembunyi di balik hadits-hadist atau ayat-ayat Al qur’an untuk membenarkan perbuatan kita. Apalagi untuk memperlihatkan ‘kebenaran’ di hadapan manusia yang lain, hmm.. terlalu jauh.
     Alqur’an itu jelas-jelas benar, hadist yang sahih juga demikian, tetapi jangan terus digunakan sebagai alasan pembenaran terhadap perilaku hati kita yang sebenarnya tidak benar. Masih bingung..?
     Contoh kasusnya demikian:
     Misalnya, kita mengetahuai ada orang atau sekelompok orang yang berbuat menyalahi syariat Tuhan. Yang tercetus dan yang datang di hati kita pertama kali adalah rasa benci atau kebencian, bahkan amarah, kemudian kita mengingatkan dengan mengatasnamakan Bismillah, semata-mata karena Tuhan kepada diri kita atau kepada orang lain. Apakah ini kejujuran? Tentu saja tidak. Jelas-jelas yang datang di hati kita adalah kebencian, berarti kita mengingatkan orang lain tersebut bukan karena Tuhan tetapi karena kebencian, ketidak cocokkan diri kita kepada perbuatan tersebut.
     Kalau niat yang terdalam dari diri kita sudah bukan Tuhan, maka cara, landasan hati, dan hasil yang dilakukan pun akan jauh berbeda. Bagaimana bisa demikian?  Iya, kalau kita melakukan itu ‘ternyata’ bukan karena Tuhan, maka (1.) Ketika kita mengingatkan orang, tidak lagi berlandaskan kasih sayang. Padahal yang mengikuti  Bismilah itu adalah Arohmanirrohim. ‘dengan nama Allah ( Bismillah )yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang (Arohman Ar Rohim). Tentu saja landasan hati kita dalam mengingatkan atau menegur orang haruslah dengan  rasa kasih dan rasa sayang yang benar-benar hadir di dalam jiwa, bukan yang selainnya seperti amarah, benci, dll. (2.) Dalam menyampaikan teguran atau mengingatkan tentu dengan cara-cara atau perbuatan  yang menunjukkan rasa kasih dan sayang. Bukan dengan merusak, bukan dengan cara mencaci, bukan dengan cara mengancam, bukan dengan cara menyakiti, dst. Hal ini sering kita lihat di televisi atau kita dengar dari radio bagaimana keagungan Tuhan (Allahu Akbar) diteriakkan dengan cara-cara yang tidak menunjukkan keagungan orang yang menghayati keagungan Tuhan bahkan dengan merusak penuh kebencian, bukan dengan kasih sayang yang ada di dalam dirinya. (3.) Hasil dari teguran dan mengingatkan haruslah diserahkan kepada Tuhan. Tidak ada manusia atau makhluk Tuhan apa pun yang bisa menyadarkan manusia lain kecuali Tuhan. Siapa pun.! Tuhan sendirilah yang mempunyai wewenang untuk menyadarkan manusia. Oleh karena itu, para nabi yang mulia, yang bersih jiwanya pun tidak bisa menyadarkan manusia lain pada jamannya secara menyeluruh, apalagi kita manusia yang hidup pada zaman sekarang yang tentunya jauh lebih kotor jiwanya. Jadi, kalau berhasil jangan diaku sebagai hasil perbuatan kita dan kalau tidak berhasil menyadarkan tidak menjadikan hati/jiwa kita menjadi jengkel apalagi marah. Itulah yang dinamakan Bismillah. Melakukan segala Sesuatu semata-mata hanya karena Tuhan.
Contoh kasus yang lain:
     Kita asyik melakukan dzikir yang lama dan konsentrasi (khuyuk). Coba mari kita koreksi apa yang terjadi  di dalam jiwa  kita yang paling dalam. Apakah dengan dzikir-dzikir kita tersebut kita semata-mata ingin ‘bertemu’ Tuhan dan mengangungkanNya dengan seagung-agungnya ketulusan kita ataukah ada tujuan yang lain yang selain Tuhan di dalam dzikir tersebut? Misalnya ingin mendapatkan ketanangan, ketentraman, ingin mendapatkan mukasyafah,ingin memperoleh rezeki, ingin memperoleh jabatan, ingin memperoleh kemuliaan dibandingkan dengan orang lain dsb.dsb? Yang bisa menjawab dengan jujur adalah diri kita masing-masing. Sebab goresan-goresan hati tersebut lembut tersembunyi di balik nafsu kita yang menginginkan kebaikan (nafsu mutmainah).
     Sekali lagi, perbuatan yang saya tuliskan sebagai contoh tersebut di atas tidaklah salah. Baik-baik saja tetapi hal tersebut tidak mencerminkan perilaku hamba yang lemah yang mengagungkan Tuhan yang maha Agung. Perbuatan tersebut menunjukkan bahwa kita kurang tulus dalam menghamba kepada Tuhan karena masih ada kepentingan-kepentingan yang selain Tuhan. Artinya, sesungguhnya Tuhan hanya dijadikan sebagai “alat” untuk memenuhi keinginan-keinginan kita. Kalau sudah demikian kemudian mana yang hamba dan mana yang majikan (Tuhan)??.
                                    Wallahu ‘Alam

Ø  >  Kritik, saran, cacian, makian, yang bertujuan untuk perbaikan ke arah yang benar beserta solusinya,  
        sungguh penulis harapkan. Tinggalkan komentar Anda di kolom komentar di bawah ini. Terima Kasih.

Selasa, 14 Juni 2011

BURUNG GARUDA


     Apa ada sih dalam enslikopedi binatang yang namanya burung Garuda? Sampai saat ini penulis belum pernah menemukannya. Mungkin karena keterbatasan penulis terhadap hal itu. Tetapi walaupun ada, Burung Garuda yang dipakai simbul bangsa Indonesia, setidaknya bukan burung Garuda yang sebenarnya.Burung yang digunakan untuk simbul tersebut secara nyata adalah burung Rajawali. Mengapa kemudian dinamakan Burung Garuda? Itulah salah satu kehebatan orang-orang Indonesia pada waktu itu.
     Untuk memahami simbul / lambang ini, tentunya akan sangat sulit buat orang-orang yang ‘tidak mengenal’ dirinya sendiri. Simbul ini juga akan susah untuk dipahami bagi orang-orang yang suka menjustifikasi dan menghakimi orang lain dengan pendapat dan kesempitan pemahamannya sendiri. Juga akan sulit dipahami bagi orang-orang yang tidak suka memberikan asupan makanan bagi jiwanya dengan keheningan dan tafakur.
     Dalam banyak ajaran tentang “hidup” banyak ditemukan tentang pentingnya tafakur, pentingnya mengenali diri sendiri (arofa nafsahu ), pentingnya ajaran empaty, pentingnya tepa selira, pentingnya ‘mengenali Tuhan (arofa Robbahu), pentingnya kesadaran diri, pentingnya motivasi hidup, dsb.
     Kalau mau menggali tentang ajaran “HIDUP” maka akan banyak sekali ditemukan di masyarakat yang disampaikan dengan ajaran dan gaya yang berbeda-beda. Ada ajaran yang mengatakan “siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan ‘mengenal Tuhannya” (man arofa nafsahu waman arofa Robbahu).  Oleh sebab itu, proses mengenali dirinya sendiri sangat berpengaruh besar terhadap proses ‘mengenal Tuhan’.
     Siapa sebenarnya diri kita dan apa yang kita gunakan (manusia) untuk menjalani hidup di dunia ini? Jawaban itu dijawab dengan lambang, dengan simbul yang digali dari tokoh-tokoh arif bangsa Indonesia pada waktu itu. Wujudnya adalah Burung Garuda. Mengapa Burung Garuda? Sebelum terjawab ini, perlu dipahami bahwa tokoh yang melahirkan ini sebagian besar banyak terinspirasi oleh bahasa Jawa.
     Burung Garuda merupakan singkatan dari GAmbaran RUpane DAda (Gambaran isinya Dada). Dada siapa ? ya dada setiap manusia. Khusus manusia Indonesiakah? Tidak. Tetapi isi dada seluruh umat manusia di dunia.
     Coba dilihat apa yang tergantung di leher dan menempel tepat di dada burung Garuda? Ada bintang di tengah yang diliputi warna hitam, ada kepala banteng, pohon beringin, rantai yang melingkar, dan padi kapas. Gambar-gambar tersebut hanya sebatas simbul-simbul atau lambang-lambang belaka.
Makna yang tersembunyi di balik itu adalah:
1.           BINTANG. Bintang yang berada di tengah dan diliputi warna hitam adalah gambaran NURani manusia. Secara bahasa (Arab) Nur artinya ‘cahaya’ dan Ani berarti ‘saya’. Dalam kitab tertentu disebut dengan istilah ‘lintang jauhar’. Di sinilah “bersemayamnya” suara kebenaran sejati, suara kebenaran yang masih murni yang tumbuh dari jiwa manusia yang paling dalam, dari jiwa manusia yang masih jujur, murni, dan belum terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan tertentu.Dalam istilah lain, ini dinamai dengan kalbu. Di sinilah tempatnya “suara Tuhan” ( Kalbu mu’min Baitullah) ‘ Kalbunya/hatinya orang-orang yang beriman adalah “rumah” Tuhan. Tentunya yang terakhir ini tidak bisa dipahami secara sembarangan. Untuk mengupas yang ini tentunya ada ilmunya khusus yang dimengerti oleh orang-orang yang arif dan benar-benar ma’rifat kepada Tuhan dan itu bukan maqam/kedudukan penulis untuk berani mengupasnya karena penulis masih jau.u.u.u.h dari kedudukan itu.
     Mengapa diliputi warna hitam pekat? Karena untuk mencapai, untuk menemukan bintang di dalam dada kita diperlukan tekad yang kuat, kemauan yang sungguh-sungguh, dan yang terpenting harus mendapat hidayah dari Tuhan. Sebelum mencapai bintang yang bersinar di dalam dada manusia, maka perlu pengendalian yang benar, yang tepat terhadap empat simbul yang mengelilinginya yang meliputi rantai, beringin, padi kapas, dan kepala banteng dengan pondasi merah putih.
     Kalau manusia tidak mampu mengendalikan yang empat tersebut, maka akan sulit untuk ‘menemukan dan menyaksikan’ bintang bersinar di dalam dadanya.

2.           RANTAI. Rantai adalah simbul nafsu manusia yang bernama Sufiah. Kendaraan nafsu sufiah  ini adalah  mata. Perilaku atau tugas mata hanyalah sebatas memandang atau melihat. Mata mau memandang yang baik yang diridhoi Tuhan maupun yang jelek dan tidak diridhoi Tuhan itu urusan lain. Selanjutnya, setelah mata melihat sesuatu, kemudian timbulah keinginan-keinginan yang bermula dari memandang tersebut. Keinginan-keinginan yang timbul dari hasil memandang  itulah yang disebut nafsu sufiah. Apakah nafsu sufiah itu jelek? Tidak. Yang diperlukan dari semua nafsu kita adalah PENGENDALIAN agar tidak mengingkari nurani kita.
     Umumnya, setiap kali mata memandang, lalu diikuti dengan keinginan-keinginan untuk menguasai (Jw:ngrante) atau mengikat atau apa yang dilihatnya. Mata memandang sesuatu yang bagus, yang indah, yang cantik, yang tampan, atau apa pun maka kemudian timbul keinginan untuk memiliki/menguasai. Itulah makna rantai.
     Keinginan menguasai yang tak terkendali itulah yang akan merusakkan tatanan. Keinginan yang tak terkendali, yang tidak mengikuti aturan dan tata krama inilah yang menyebabkan manusia akan berperilaku seperti hewan. Keinginan dari hasil melihat yang tidak terkendali ini jugalah yang menyebabkan manusia merampok, mencuri, korupsi, menodong, dsb. Manusia yang tidak mampu mengendalikan nafsu sufiahnya seperti inilah yang dinamakan raganya manusia tetapi sebenarnya jiwanya adalah hewan. Karena jiwanya sedang dikuasai oleh sifat-sifat kebinatangan. Keinginan untuk berkuasa atau menguasai yang tidak terkendali seperti itu jugalah yang akan menutupi manusia dari ‘menemukan’ bintang/nurani/kecerahan/penerangan yang hak dari Tuhan.

3.           KEPALA BANTENG. Kepala banteng adalah simbul dari nafsu amarah. Kendaraan yang digunakan untuk nafsu amarah adalah telinga. Tugas telinga hanyalah sebatas mendengar. Telinga mendengar suara yang baik seperti petuah, ayat-ayat Tuhan, dsb mau tetapi  mendengar yang jelek seperti gunjingan, umpatan, cacian dsb juga mau.
     Hasil dari mendengar tersebut bisa kesejukan hati, kebahagiaan, semangat hidup, dan juga kemarahan atau kebencian. Yang memproses suara sehingga menimbulkan rasa tertentu di dalam jiwa itulah yang dinamakan nafsu amarah. Tugas manusia adalah mengendalikan sestabil mungkin agar tidak menimbulkan kebencian dan amarah di dalam jiwa dari hasil mendengarnya telinga.
     Apakah nafsu amarah juga jelek? Tidak. Tanpa nafsu amarah maka manusia tidak akan mempunyai semangat hidup, loyo, dan bermalas-malasan. Yang dikehendaki adalah mengendalikan nafsu ini agar tidak ‘menutupi’ manusia dari menemukan bintang yang tersembunyi di tengah-tengah. Tetapi kalau tidak bisa mengendalikan maka manusia akan tertutup (kafir) dari menemukan nuraninya. Yang timbul kemudian adalah kemarahan-kemarahan dengan berbagai bentuknya. Oleh sebab itu, ketika manusia marah, telinga akan terasa panas dan berwarna kemerahan. Sifat panas tersebut tentunya berasal dari api. Sedangkan api adalah bahan dasar dari iblis. Jadi, orang yang tidak bisa mengendalikan kemarahan inilah yang sebenarnya sedang dikuasai sifat dasarnya iblis. Raganya manusia tetapi yang bersemayam di dalamnya bisa jadi adalah iblis.
4.           PADI KAPAS. Padi kapas adalah simbul dari nafsu lawamah/aluamah. Kendaraan yang digunakan oleh nafsu ini adalah mulut. Tugas mulut adalah makan dan kalau bekerja sama dengan lidah serta udara, maka mulut juga mempunyai tugas untuk berbicara atau mengeluarkan suara. Tetapi dalam hukum jasmani, mulut tugasnya adalah memasukkan asupan gizi untuk memenuhi kebutuhan raganya agar lestari dan menjadi ‘tempat’ yang nyaman untuk jiwa kita bersemayam atau bermukim melakukan aktifitas di dunia sampai batas akhirnya selesai.
     Mulut mau memasukkan benda apa pun, baik yang halal maupun yang haram. Tugas nafsu aluamah adalah memilah mana yang seharusnya dimasukkan dan mana yang tidak seharusnya di masukkan. Kalau hal ini tidak terkendali, tidak mengikuti aturan Tuhan seperti pada sila pertama, maka hal ini juga akan menutupi manusia dari mengenal dirinya, dari mengenal Tuhannya, atau dari mengenal bintangya yang tersembunyi di tempat yang ‘gelap’ yang jauh berada di dalam ‘dada’ manusia.

5.           BERINGIN. Beringin adalah simbul nafsu mutmainah. Kendaraan yang digunakan oleh nafsu mutmainah adalah hidung. Tugas hidung adalah membau/mencium. Hidung inilah satu-satunya indera kita yang tidak mau memasukkan yang jelek. Hidung hanya mau menghirup aroma-aroma yang sedap, yang enak, yang wangi dsb. Sifatnya nafsu mutmainah adalah ingin selalu berbuat kebaikan. Tidak mau yang jelek. Tetapi betapapun keinginannya untuk berbuat baik, di sini juga bisa menjadi perusak tatanan, bisa menutupi manusia dari bertemu bintangnya, dari mengenal Tuhannya.
     Hlo kok bisa..?
     Iya. Nafsu manusia yang selalu ingin berbuat baik, tanpa didasari pemahamannya terhadap Ketuhanan yang kafah atau menyeluruh, maka niat baik yang diwujudkan di dalam perilakunya justru akan menjadi penghalang manusia untuk mengenal nuraninya, mengenal Tuhan. Ujung-ujungnya justru malah akan merusak tatanan.
     Ukuran baik yang dipakai masing-masing manusia tentu akan berbeda dengan ukuran baik yang dipahami orang lain. Misalnya, membantu orang lain itu baik tetapi karena keinginanya yang kuat untuk membatu orang lain sehingga keluarganya sendiri terabaikan jadinya malah merusak rumah tangganya sendiri. Keinginan yang kuat untuk berbuat baik atau membahagiakan keluarganya akhirnya uang pemerintah, uang rakyat dikorup. Keinginan yang kuat untuk berbuat baik dengan tujuan agar rakyat hidup bahagia, pemerintah dihujat, negara dikorbankan ujung-ujungnya rakyat juga yang sengsara. Keinginan yang kuat agar demokrasi berdiri dengan baik tetapi cara-cara yang ditempuh justru tidak demokratis. Keinginan yang baik agar HAM berjalan baik, tetapi justru pencapaiannya malah merugikan hak asasi manusia yang lain.
     Oleh karena itu, nafsu mutmainah juga perlu dikendalikan dan diberi porsi sesuai dengan porsinya.

      Itulah sedikit gambaran dari lambang Burung Garuda. Ada lima lambang yang terpampang di dada Sang Burung Garuda. Satu di tengah dan yang lima berada di sekililingnya. Dalam ajaran Jawa hal ini diungkapkan dalam ungkapan “keblat papat, lima pancer” (arah empat dan yang kelima sebagai poros atau asnya) atau “sedulur papat, kalima pancer”.Atau, mungkin, mengapa sahabat Nabi Muhammad SAW itu banyak tetapi yang terkenal hanya empat (Umar, Usman, Abu Bakar, dan Sayidina Ali)? Empat sahabat dan yang pusatnya atau pancer (Jw) nya adalah Rosulullah. Atau perlambangan dari malaikat. Malaikat itu banyak tetapi mengapa yang sering dikenal hanya empat (Jibril, Mikail, Isrofil, dan Izroil) dan komandannya adalah Allah? Mungkin agama-agama yang lain juga mengenal empat sahabat dan yang kelima adalah “komandannya”.  Benar salahnya, Wallahu A’lam bisawab.
     Yang jelas, kalau manusia memahami semua itu,mengamalkannya, serta menjadikan ajaran itu sebagai ruh dalam kehidupan sehari-hari, maka tidak aka ada manusia yang semena-mena, membeda-bedakan satu sama lain, membeda-bedakan bangsa, membeda-bedakan suku, agama, keturunan, kepandaian, kekayaan, jabatan dan lain-lain. Tidak ada cacian, makian, maido, kemarahan, gunjingan, kebencian, dsb. Semua sama, semua satu yaitu umat ciptaan Tuhan dengan berbagai macam peran sesuai yang diperintahkan Tuhan kepada dirinya masing-masing. Lakum dinukum waliadin.
     BHINEKA TUNGGAL IKA. Manusia  akan memegang erat prinsip ini. Hal ini seperti dilambangkan Sang Burung Garuda yang memagang erat pita yang bertuliskan bhineka tunggal ika tersebut.  Semua menduduki fungsinya masing-masing. Yang atasan menduduki fungsinya sebagai atasan secara benar, yang bawahan menduduki fungsinya sebagai bawahan secara benar pula. Yang menjadi pemimpin menduduki fungsinya sebagai pemimpin yang baik, yang rakyat menduduki fungsinya sebagai rakyat secara baik. Yang dagang, yang guru, yang petani, yang penjahit, yang  profesi-profesi yang lain juga mampu menduduki fungsinya secara benar pula. Tidak ada yang saling mencampuri. Tidak ada lagi yang merasa sok benar, sok pintar, sok baik, dll yang ujung-ujungnya malah membuat suasana menjadi runyam.
     Seperti yang terjadi saat ini, ajaran Pancasila banyak ditinggalkan, dianggap kuna, dianggap tidak sesuai zaman dst. Banyak orang yang merasa lebih pandai, merasa pintar, lebih benar dst. Sehingga terjadi pemimpin tidak mampu menjadi pemimpin yang benar dan tidak mampu memimpin rakyatnya dengan benar, tidak mencerminkan jiwa, perilaku layaknya seorang pemimpin. Pemimpin tidak lagi menduduki fungsinya sebagai seorang pemimpin. Yang rakyat tidak lagi mampu menjadi rakyat yang benar sehingga merasa berhak mengajari pemimpin tentang bagaimana menjadi pemimpin yang menurutnya benar. Rakyat tidakmau  lagi patuh pimpinan karena rakyat merasa lebih pandai, lebih, pintar, lebih benar  lebih tahu dari pada pemimpinnya. Yang petani ngurusi politi, yang diberi tugas oleh Tuhan sebagai pedagang malah ngurusi negara, yang ditugasi sebagi wakil rakyat malah mewakili dirinya sendiri, dst…dst.. yang intinya manusia tidak lagi menduduki fungsinya masing-masing sebagaimana yang dititahkan oleh Tuhan.
     Manusia yang secara menyeluruh, secara total mengamalkan pancasila tersebutlah yang smendapatkan gelar wali/wakil/utusan/kholifah Tuhan di muka bumi ini dan itu dilambangkan dengan burung RAJAWALI.
                                                                                  
                                                                                                       Dadik

Kritik, Saran, Masukan, Cacian, cemoohan yang bertujuan untuk menyempurnakan pemahaman ini yang saya tunggu dari para pembaca. Tinggalkan komentar Anda di kolom di bawah ini. Terima kasih.

> PANCASILA

     PANCASILA…Kok masih banyak orang yang menolak dan tidak sependapat dengan Pancasila sebagai dasar negara. Aneh.! Lima sila PANCASILA sebagai dasar Negara dan BURUNG GARUDA sebagai LAMBANG NEGARA sebenarnya adalah cermin hidup setiap manusia di dunia. Dan bangsa Indonesialah yang mampu mengkristalisasi dan merumuskannya ke dalam bentuk tata keepemerintahan dan tata kenegaraan.
     Atas dasar apa PANCASILA dan BURUNG GARUDA itu ditolak.? Karena kurang afdol..? Karena ketinggalan zaman..? Karena tidak mampu menciptakan keadilan..? Karena tidak mampu menata bangsa..?
Karena tidak sesuai dengan ajaran agama..?
     Hmm… nanti dulu.!
     Jangan-jangan kita yang belum memahami Pancasila.?
     Pancasila terlahir lewat perenungan (tafakur) orang-orang yang prihatinnya sangat tinggi dan dari orang-orang yang beragama serta dari orang-orang yang sangat mendambakan kesejahteraan bangsa Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya.  Masa dari orang-orang seperti itu akan dilahirkan sesuatu yang jelek ? Untuk “melahirkan” Pancasila, secara hukum lelaku (Jw) diperlukan ‘penderitaan atau lelaku’ selama berabad-abad dengan wujud penjajahan Belanda, Jepang, Sekutu dll. Dari lelaku yang cukup panjang  dan dari rasa perihatin yang cukup lama itulah kemudian terlahirlah “bayi mungil” yang bernama Pancasila dan Burung Garuda sebagai ‘wujud raga’nya atau lambangnya.
     Pancasila (sebagian besar) terlahir lewat ‘budaya Jawa’ yang penuh dengan simbol-simbol, penuh dengan sanepan-sanepan yang tidak segera dapat dipahami sebelum ‘masuk’ ke dalamnya. Walaupun banyak terinspirasi dari budaya jawa, tetapi kandungan isinya bersifat universal. Kandungan isinya sebenarnya merupakan gambaran setiap manusia di dunia ini, siapapun dia dan dari bangsa apapun dia berasal.
     Pancasila sendiri, sila-silanya,  tersusun secara sistematis, urut, runtut, dan tidak bisa diacak atau dibolak-balik.  Bagaimana tidak.? Urutan-urutan sila dalam Pancasila merupakan tahapan atau tangga setiap manusia untuk menapak dari satu tangga ke tangga yang lain guna mencapai kesempurnaan hidup, guna mencapai kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Sila-sila dalam Pancasila merupakan rangkaian yang tersusun rapi  dan bertahap yang juga merupakan alur yang mesti dilalui setiap manusia untuk mecapai kebahagiaan yang hakiki, bukan untuk mencapai kesenangan hakiki. ( Beda kesenangan dan kebahagiaan insya Allah akan penulis tulis dalam bagian yang lain).
     Untuk itu dalam memahaminya pun harus runtut dan urut.
     Hlo kok begitu..?
     Ya,coba bagaimana bisa dibolak-balik ?
1.           (sila pertama) Setiap orang wajib ‘mengenal’ Tuhannya terlebih dahulu (Ketuhanan yang Maha Esa). ‘Mengenal’ Tuhan secara kafah (lengkap) jangan sepotong-potong. Harus mengenal Tuhan (ma’rifatullah) sebagai suatu kesatuan (Esa). Jangan dipenggal-penggal sesuai dengan pemahaman setiap nafsu manusia. Ada “Robbi” ada “Robbana” ada Al Ghofur, ada Ar Rohim, ada Ar Rohman, ada Gusti Pangeran, ada Gusti Allah, dll. Banyak sebutan tetapi tetap saja SATU (Esa). Dan itu WAJIB dipahami dan  dikenal oleh setiap umat manusia yang merasa bahwa dirinya adalah ciptaan Tuhan dan hamba Tuhan. Di dalam ajaran Islam,  untuk “mengenal” Tuhan, maka manusia harus mengerti, memahami dan masuk mengamalkan (Jw: slulup) ke dalam pemahaman yang dipelajarinya. Mengenal 99 Asma Allah, sifat-sifatNya, dan ‘perbuatan-perbuatan’Nya. Tidak cukup hanya menghafal dan mengerti artinya, tetapi harus benar-benar slulup ke dalam rasa dan suasananya, serta  dijadikan nafas hidupnya dalam kehidupan sehari-hari.
     Sebagai misal, untuk memahami Tuhan sebagai Ar Rohman ( Yang Maha Pengasih ), selain dihafalkan, dimengerti artinya, maka harus juga dislulupi suasana Ar Rohman dan dimukimkan ke dalam rasa kemudian dijadikan ‘nafas hidupnya”. Artinya, di dalam berperilaku sehari-hari, dalam berinteraksi dengan sesama makhluk Tuhan di bumi ini, siapa pun dia dan apapun ia (karena tumbuhan, hewan,benda2 ciptaan Tuhan juga makhluk Tuhan) harus dengan rasa Ar Rohman, denga rasa kasih sayang. Tidak boleh ada kebencian di dalam hati apalagi di dalam rasa. Begitu juga untuk memahami Asma-asma yang lain ( Ar Rohiim, Al Qudus, As Salam, Al Mu’min, Al Muhaimin, dst.)yang mencapai 99 Asma tersebut, maka cara pengamalannya harus seperti itu. Laku Kresna (dalam pewayangan Jawa). Maksudnya harus tulus, harus sama antara yang lahir, dan yang batin. Seperti tokoh Kresna di dalam pewayangan yang hitam kulitnya, hitam tulangnya, dan hitam darahnya. Artinya lahir dan batin, jiwa dan raga, penampilan dan rasa yang ada di dada, SAMA. Bukan lips servis, bukan basa-basi, harus apa adanya dan yang pasti harus jujur. Jujur kepada dirinya sendiri, juga jujur kepada orang lain, dan juga jujur terhadap perilakunya.
     Itu salah satu tahap ‘mengenal’ Asma Allah. Selain mengenal Asma Allah juga harus ‘mengenal’ sifat-sifat Allah yang wujud, kidam, baqo’, mukolafatul lil khawadis, Wahdaniyah, Irodah, dan seterusnya. Baik yang wajib maupun yang mokhal ( tidak mungkin)
     Juga harus mengenal aturan-aturan (syariat) Tuhan untuk berbuat dan berperilaku menggunakan raga di muka bumi ini, mengenal perbuatan-perbuatan Allah, serta memahami Kalam-kalamullah (di ajaran Islam berupa Al Quran)
     Semua pemahaman tersebut harus Kafah, menyeluruh, tidak boleh dengan pemahaman yang sepenggal-penggal. Selain itu juga harus dengan keYAKINan hati. Tidak boleh ragu-ragu atau was-was.. Menumbuhkan YAKIN Ini yang kadang terasa berat dan sulit, padahal untuk mendapatkan rasa yakin terhadap materi/ilmu yang diterimanya atau yang dipelajarinya atau yang didapatkannya, seseorang harus pernah ‘sampai’ ke ‘tempat rasa’ yang di pelajarinya. Ibarat untuk mengetahui rasa manis yang sesungguhnya (ma’rifat terhadap rasa manis), maka seseorang harus pernah memasukkan gula atau yang sejenisnya yang mempunyai rasa manis ke lidahnya. Kalau belum pernah memasukkan benda yang manis ke lidahnya, sebenarnya ia belum mendapatkan yakin terhadap rasa manis yang sesungguhnya. Selihai, sepandai, semahir apa pun ia mampu menjelaskan dengan kata-kata, dengan contoh-contoh terhadap rasa manis tanpa pernah memasukkan benda yang manis ke lidahnya, maka maqamnya/ kedudukannya masih maqam percaya, belum maqam yakin. Pendapatnya terhadap rasa manis amat sangat tergantung kepada referensi yang ia dapatkan dan yang ia terima baik melalui membaca, dari orang lain yang dianggap ahli, maupun dar pengalaman nafsunya. Kepercayaannya masih bisa diubah oleh situasi dan kondisi, tetapi kalau YAKIN, maka tidak seorangpun mampu mengubahnya karena  ia telah sampai ke’ tempatnya’(ma’rifat). Padahal yang namanya IMAN itu adalah YAKIN, bukan percaya. (Insya Allah kalau Allah memang berkehendak hal yakin dan percaya ini akan penulis tulis dalam bab tersendiri)
     Dari sedikit uraian ini, lalu dengan alasan yang mana lagi pemeluk agama menolak Pancasila.?

2.      (sila kedua) Kalau manusia sudah ‘mengenal’ Tuhan (ma’rifatullah) secara benar dan secara kafah/menyeluruh,  maka otomatis manusia itu akan menjadi manusia sejati atau manusia yang sesungguhnya. Manusia yang sebenarnya manusia, manusia yang utuh  jiwa-raganya. Maksudnya manusia sejati adalah manusia yang mengerti tata krama hidup, baik tata krama terhadap dirinya sendiri, tata krama terhadap sesama, tata krama terhadap seluruh makhluk,  tata krama terhadap seluruh semesta raya, dan lebih-lebih tata krama terhadap Tuhan.  Manusia yang utuh baik dari segi tampilan (raga) maupun yang tersembunyi (jiwanya). Tampilan raganya berupa manusia dan jiwanya juga manusia.   
     Maksudnya….?
     Karena banyak sekali yang raganya manusia, tampilan sosoknya manusia tetapi jiwanya atau sifat yang berkuasa di dalam raga manusia adalah sifat-sifat kebinatangan dan sifat-sifat iblis. Hloh..? Iya, yang namanya manusia, adalah makhluk hidup yang paling sempurna yang berakal dan diberi piranti atau alat yang lengkap untuk menjadi khalifah/utusan Tuhan di muka bumi ini. Tentunya dalam nggelar
Atau melaksanakan amanah Tuhan juga harus dengan nilai-nilai kemanusiaan.
     Tetapi ternyata banyak sekali yang unsur raganya berupa manusia, sosok raganya manusia tetapi sebenarnya yang berkuasa di dalam jiwanya, kekuatan yang menggerakkan raganya adalah sifat dan perilaku hewan. Sifat hewan adalah makhluk yang berbuat menurut nalurinya. Binatang tidak mengerti baik-buruk, tidak tahu halal-haram, tidak paham tepa salira, tidak memakai tata karma, tidak menggunakan aturan kebajikan. Satu-satunya aturan yang dipakai adalah kekuatan. Siapa kuat dialah yang berkuasa. Kalau ada manusia yang berperilaku seperti ini, maka dia belum menjadi manusia yang utuh karena salah satu unsur di dalam dirinya atau sifat yang digunakan untuk menapaki hidup di bumi bukan manusia melainkan sifat binatang.
     Ada lagi manusia yang raganya atau tubuhnya berupa manusia tetapi di dalamnya adalah IBLIS. Mengapa? Karena yang menguasai jiwanya adalah sifat-sifat iblis. Sifat iblis adalah suka protes, suka maido, suka tidak menerima keadaan, suka marah, suka dengki, iri, tidak patuh, ujub, suka membangga-banggakan diri, suka ‘mengecilkan’ orang lain, suka menipu, riya’,  suka menyebarkan berita tentang  kejelekan orang lain, suka memfitnah, suka menggunjing,dan sebagainya. Ingat bagaimana kisah iblis yang merasa lebih baik (ujub) terhadap makhluk yang akan diciptakan Tuhan (Adam). Ingat bagaimana iblis merasa lebih tahu daripada Tuhan tentang makhluk yang akan diciptakannya dan kemudian melakukan protes terhadap rencana Tuhan tersebut. Ingat bagaimana iblis menipu nabi Adam agar makan buah kuldi. Ingat juga bagaimana iblis tertawa bangga melihat Adam dan Hawa tertipu olehnya dan kemudian diturunkan ke muka bumi.
     Iblis terbuat dari api, sifatnya panas. Kalau di dalam jiwa manusia masih sering ,panas’ dengan kemarahan-kemarahan, dengan kebencian-kebencian dan yang sejenisnya, maka sebenarnya raganya sajalah yang berupa manusia tetapi kekuatan yang mengendalikan di dalamnya adalah Iblis.
     Bisa jadi manusia tersebut sudah mengerti tata karma, perilakunya sopan dan tutur katanya santun, tetapi di dalam jiwanya bersemayam kebencian, kemarahan,riya’, ujub, sombong, berbangga diri, dan yang sejenisnya.
     Manusia yang sudah terbebas dari segala sifat kebinatangan, manusia yang sudah terbebas dari sifat-sifat iblis itulah yang dinamakan manusia yang utuh, manusia yang  sempurna ( Insan Kamil Kamilun Insan ). Manusia yang seperti itu adalah manusia yang pasti akan berbuat adil terhadap sesama, tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan pangkat, kekayaan, kedudukan, dsb. Semua manusia sama di hadapannya, semuanya adalah makhluk Tuhan apapun profesi dan nasibnya. Semua manusia akan disikapi di dalam jiwanya dengan sikap yang sama, yang penuh sopan santun, yang penuh tata-krama, yang penuh dengan etika, penuh dengan penghargaan dan penghormatan. Dengan kata lain, manusia ini adalah manusia yang beradab, manusia yang mengerti tata karma dan sopan santun, yang bisa menempatkan dan memposisikan dirinya sesuai dengan ‘aturan (syatriat ) yang dikehendaki oleh Tuhan berdasarkan pemahaman yang utuh terhadap Tuhan seperti pada sila pertama Pancasila.
     Inilah manusia yang ADIL dan BERADAB (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab). Tidak ego, tidak mementingkan dirinya sendiri, tidak mementingkan kelompoknya , tidak menonjol-nonjolkan  dan tidak memaksakan pahamnya masing-masing.  Manusia yang seperti ini adalah manusia yang Adil dan Beradab / bertatakrama yang didasarkan atas kesadaran sebagai hamba Tuhan. Bukan karena apa-apa. Manusia yang adil dan beradab karena manusia menyadari benar sebagai kholifah Tuhan di atas bumi ini.

3.           (sila ketiga)Kalau semua manusia sudah mengerti kesejatiannya sebagai manusia. Manusia yang adil dan punya sopan santun, punya tata karma (beradab), maka apa masih ada kemungkinan terjadinya korupsi, pertengkaran, dan peperangan ? Tidak kan ? Otomatis manusia itu akan bersatu (Persatuan Indonesia). Bersatu dalam sebuah koridor pemahaman bahwa kita (manusia) dihadirkan di muka bumi ini sebagi utusan Tuhan(kholifah) untuk menyebarkan rahmad dan kasih sayang terhadap seluruh isi alam, apalagi terhadap sesama manusia (rahmatan lil Alamin).

4.           (sila keempat) Kalau semua manusia telah menjadi seperti yang ada di sila kesatu, kedua, dan ketiga, apa dalam kehidupan bermasyarakat  lalu tidak ada perbedaan pendapat terhadap sesuatu ? Tentu saja tetap ada tetapi perbedaan tersebut bukan lagi perbedaan kepentingan dan perbedaan dalam hal yang buruk, melainkan  perbedaan pendapat dalam koridor manusia yang beradab yang telah mengenal Tuhannya. Karena perbedaan itu tetap ada, maka yang ada kemudian adalah sikap musyawarah (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan) Musyawarah yang terjadi bukan untuk mencari menangnya sendiri atau kuat-kuatan pendapat. Musyawarah bukan lagi untuk menunjukkan kepandaian dan kepiawaian diri, tetapi musyawarah yang berdasarkan Hikmah Kebijaksanaan yang tidak mementingkan diri atau kelompok (adil) dan bermusyawarah dengan dasar kasih sayang (hikmah) dan penuh dengan kebijakan (bijaksana). Maka manusia yang telah menjadi manusia yang sejati atau manusia yang sesungguhnya yang mengenal Tuhan (ma’rifatullah) pasti bersatu. Kalau terjadi perbedaan pendapat otomatis tidak akan memaksakan kehendak tetapi akan diselesaikan dengan cara bermusyawarah yang penuh hikmah dan penuh dengan kebijaksanaan dengan menggunakan satu-satunya tolok ukur adalah kebenaran Tuhan dan Ridha Tuhan. Bukan kebenarannya masing-masing. Karena kebenaran yang dihasilkan manusia itu bersifat relatif dan subyektif.
    
5.           (sila kelima)Kalau semua manusia bisa ‘duduk’ dengan tenang pada sila satu sampai keempat, maka otomatis manusia itu akan adil (keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia). Adil bisa terjadi kalau manusia itu mengenal Tuhan, menyadari hakikat dirinya sebagai manusia yang diutus Tuhan di muka bumi, yang bertata karma, yang beradab, yang tidak didominasi perilaku kebinatangan, yang jiwanya tidak dikuasai iblis, yang bersatu dan menyelesaikan masalah dengan selalu bermusyawarah dengan cara-cara yang bijaksana dengan penuh hikmah untuk semata-mata mencari Ridho Tuhan. Bangsa seperti inilah yang digadang-gadang bangsa di seluruh dunia khususnya bangsa Indonesia.    
     Di sejarah ‘mitos’ tanah jawa diketemukan istilah Jejere Ratu Adil”. Siapa yang jejer atau ‘berdiri’? Yang ‘jejer’ atau yang berdiri adalah setiap insan atau setiap manusia itu sendiri. Makanya untuk jejer tersebut diperkirakan aka nada “revolusi alam”. Mengapa harus revolusi alam? Karena yang bisa menyeleksi siapa manusia yang benar-benar manusia, mana manusia yang di dalamnya binatang, mana manusia yang di dalamnya iblis hanya Tuhan lewat alam semesta. Kalau yang menyeleksi manusia, maka akan terjadi banyak kepentingan. Selain itu, pada jaman sekarang, sifat manusia dan sifat yang bukan manusia  sudah “bersatu/manunggal” di dalam dada hampir di seluruh manusia. Sehingga sulit untuk membedakan mana manusia, mana iblis, dan mana binatang karena perilakunya sudah sama saja. Tidak ada bedanya. Satu-satunya yang jelas-jelas membedakan adalah wujud raganya saja. Revolusi alam akan menyeleksi manusia yang benar / manungsa sejati dan manusia yang palsu.   
     Kok Ratu Adil ?Siapa ratu nya ?
     Ratunya ya” adil” atau keadilan itu sendiri. Seluruh manusia sudah menjunjung tinggi / menjadikan ‘ratu’ nilai-nilai keadilan sesuai dengan pemahaman yang ada pada Pancasila tersebut yang diridhoi Tuhan tentunya. Walaupun begitu, akan tetap ada simbol manusia yang akan menduduki pemimpin. Tetapi sang pemimpin tersebut  hanya sebagai simbol belaka karena setiap insan sudah bisa adil dan bijaksana terhadap dirinya dan lingkungan sekitarnya (alam semesta).

Pertanyaannya kemudian,
1.      Apakah hal semacam ini hanya bangsa Indonesia yang menginginkan..? Saya yakin TIDAK !
2.      Apakah ajaran yang seperti itu bertentangan dengan ajaran agama ? saya yakin TIDAK !
3.      Apakah yang demikian itu buruk ? Saya yakin juga TIDAK !
4.      Mengapa Indonesia yang berdasarkan Pancasila bisa amburadul seperti ini? Karena Pancasila sudah dibuang dan ditinggalkan oleh Bangsa Indonesia. Pancasila hanya diucapkan, tidak diamalkan sebagai Ruh kehidupan dalam kehidupan sehari-hari!

     Oleh sebab itu,  PANCASILA disebut sebagai kristalisasi jiwa manusia. Siapa saja yang merasa dirinya manusia.
Selanjutnya, untuk melambangkan /simbul terhadap manusia yang berpancasila tersebut, maka kemudian lahirlah LAMBANG BURUNG GARUDA.

Jumat, 10 Juni 2011

SEDIKIT BACAAN

Romo M. Semono Sastrohadidjojo
( Romo Herucokro Semono )
1900 - 1981
Sebelum tahun 1900, seorang isteri “padhemi” (isteri resmi), dibuang dalam arti diberikan kepada seseorang yang dinilai berjasa.
Itu karena desakan seorang “selir” yang sangat dicintai.
Hal demikian, tidak jarang terjadi pada jaman itu.
Isteri “priyagung” itu bernama Dewi Nawangwulan. Kepergiannya, disertai seorang dayang (emban), bernama Rantamsari.
Dewi Nawangwulan, dibuang (“dhikendangake”), dan diberikan kepada Ki Kasandhikromo, yang sering juga disebut Ki Kasan Kesambi, seorang tokoh spiritual pada jamannya, yang berdiam di desa Kalinongko, Gunung Damar, Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Saat dibuang, Dewi Nawangwulan dalam keadaan mengandung.
Lahir bayi yang diberi nama Semono, namun ibunya, Dewi Nawangwulan wafat. Tidak lama kemudian disusul Rantamsari, dayangnya juga meninggal dunia.
Keduanya dimakamkan di puncak Gunung Damar Purworejo.
Ki Kasandhikromo, tidak pernah mau menganggap, apalagi memperlakukan Dewi Nawangwulan sebagai isterinya. Tetap dianggap dan dia perlakukan sebagai “ratu” -nya . Demikian pula isterinya, Nyi Kasandhikromo.
Semono dipelihara dan dibesarkan Ki Kasandhikromo. Di sekolahkan Sekolah Ongko Loro (SD yang 5 tahun tamat untuk pribumi). Semono yang lahir tahun 1900, harinya Jumat Pahing. Tidak ada catatan resmi tanggal dan bulannya. Hal biasa pada jaman itu.
Semono, semasa sekolah, setiap hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, membolos. Bukan karena malas atau nakal, tetapi karena malu.
Pada saat matahari tepat di atas, saat semua orang tidak ada bayangannya. Semono bayangannya 12. Karena selalu jadi tontonan teman-temannya, jadi malu. Maka lebih baik membolos.
Tamat SD itu, langsung diangkat jadi Guru Bantu.
Suatu hari, pemuda Semono yang saat itu berumur 14 tahun (sudah dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa pada jaman itu), disuruh Nyi Kasan, mengambilkan minyak, di dalam salah satu bilik rumah mereka. Ternyata, di dalam bilik itu, tertidur lelap seorang gadis kemenakan Nyi Kasan. Dalam kelelapan tidurnya, kain yang dipakai tersingkap, jadi tubuhnya kelihatan terbuka.
Pemuda Semono, melihat hal itu, “Mengkorok” (Berdiri bulu bulu di tubuhnya).
Semono lalu merenung. Mempertanyakan, apa sebenarnya yang menggerakkan bulu bulu tubuhnya itu?.
Renungan demi renungan, tidak menemukan jawab.
Akhirnya Semono memutuskan, minta ijin Ki Kasan untuk pergi bertapa.
Semono yang berusia 14 tahun itu, bertapa di tepi laut Selatan, di Cilacap. Bekasnya (petilasannya) masih ada sampai saat buku ini ditulis.
Berupa dua rumpun bambu, di dalam kompleks Pertamina. Pertamina, sekalipun sudah berusaha dengan berbagai cara, tidak bisa membongkar kedua rumpun bambu itu.
Semono bertapa selama 3 tahun (1914 - 1917). Hasilnya mendapat “Cangkok Wijoyo Kusumo”. Berbentuk seperti bunga kering, berwarna coklat kehitaman. Kalau dimasukkan air, akan mengembang sebesar tempatnya.
Semono kecewa, karena bukan itu yang dicari. Beliau mendapat “wangsit” (ilham), untuk melanjutkan laku sampai tahun kembar 5, dan di timur nantinya akan dia temukan apa yang dia cari.
Baju yang dikenakan Semono selama 3 tahun bertapa, hancur. Dengan hanya bercawat dedaunan, Semono pulang dengan cara jalan malam. Jadi siang hari sembunyi dan malam harinya jalan, karena takut akan malu kalau bertemu orang.
Sampai di rumah, bukannya dirayakan, tetapi malah sudah disediakan lubang (“luweng”), lalu pemuda Semono oleh Ki Kasan, ditanam (“dhipendem”), selama 40 hari 40 malam. hanya diberi batang gelagah untuk bernafas. Dan setiap usai menanak nasi, Nyi Kasan mengepulkan asap nasi itu ke dalam lubang gelagah.
Selanjutnya, Semono sambil menjadi Marsose (sekarang marinir), berkelana, tetap menjalani laku. Kalau siang dinas, malamnya berendam di laut, menjala. Tidak pernah dapat ikan. Itu dilakukannya sampai tahun 1955.
Tanggal 13 malem 14 November 1955, kebetulan jatuh malem Senen pahing, pukul 18.05, banyak orang di Perak Surabaya, terkejut, menyaksikan rumah Letnan KKO ( sekarang Letnan Satu Marinir), terbakar. Tetapi setelah didekati , ternyata bukan api, melainkan cahaya. Bahkan ada kereta keemasan (kreto kencono) di langit, yang turun masuk ke rumah Letnan Semono). Di Jalan Perak Barat No. 93 Surabaya.
Peristiwa itulah yang dikenal sebagai mijilnya Romo Herucokro Semono.
Pernyataan beliau saat Mijil, menyatakan bahwa “Ingsun” Mijil, arso nyungsang bawono balik, arso nggelar jagat anyar. “Ingsun” (bukan aku) mijil hendak memutar-balikkan jagad (maksudnya jagat kecil, pribadi manusia, micro cosmos), dan hendak menggelarkan dunia baru (micro cosmos baru).
Artinya, kalau selama ini, kita selalu memperbudak Hidup, selanjutnya terbalik, kita sebagai manusia akan menjadi abdi-nya Sang Hidup.
Mulai saat itu, Romo Herucokro Semono memberikan siapapun yang menghendaki (tidak ada paksaan, tidak menakut-nakuti dengan cara dan jalan apapun), yang ingin Hidup bahagia (Tentrem), agar bisa mencapai “Kasampurnan Jati” (moksha) pada saatnya.
Apa yang beliau berikan, akan bisa diikuti dalam bab bab berikut.
Romo Herucokro Semono, selanjutnya memberikan Laku Kasampurnan ini, sesudah dinas. Berlangsung sampai tahun 1960. Beliau menjalani masa pensiun sebagai Kapten Marinir.
Beliau lalu pulang ke Purworejo dan berdiam di Kalinongko dan Sejiwan, Loano, Purworejo (2 rumah kediaman).
Setiap hari, beliau menerima kedatangan rata rata 500 orang lebih.
Semua orang, pada waktu makan, diberi makan dan yang menginap, dengan bebas mencari tempat untuk tidur, di rumah beliau.
Tentunya berbagai keperluan orang yang datang. Mulai dari meminta pengobatan penyakit yang dokter sudah tidak sanggup mengobati, dengan seketika sembuh, memohon restu untuk sesuatu, dan lain-lain. Tetapi tidak sedikit yang datang untuk memohon bisa mengikuti Laku Kasampurnan (disebut mohon diperkenankan menjadi Putro).
Berdatangan orang dari berbagai penjuru dunia, melalui berbagai sebab (jalaran), yang akhirnya menjadi Putro.
Selama 25 tahun lebih (13 malem 14 November 1955 s/d 3 Maret 1981), Romo Semono melayani pagi, siang, sore, malam, dini hari, siapapun yang datang .
Semua yang datang, diperlakukan 100% sama. Beliau tidak pernah memandang orang dari perbedaan apapun. Derajat-pangkat, kekayaan kedudukan sosial, suku, bangsa, semua diperlakukan 100% sama.
Kalau beliau sedang memberikan petuah (“wulang-wuruk”), setiap orang mendengar menurut bahasanya sendiri sendiri. Yang orang Jerman mendengar beliau berbicara bahasa Jerman, yang orang Inggeris mendengar beliau berbahasa Inggeris, sedang penulis mendengar beliau berbahasa Jawa.
Romo Semono, setiap harinya, makan dua kali. Tetapi tiap kali makan, hanya satu sendok. Tidurnya, hampir tidak pernah. Hampir tidak pernah mandi, tetapi selain tidak berbau badan beliau, juga tidak ada daki (kotoran) di kulit beliau. Tubuh tetap sehat, gagah, tinggi besar.
Hal hal luar biasa, atau mujijat yang beliau tunjukkan, kalau ditulis semua akan menjadi satu buku tersendiri.
Beberapa contoh saja, misalnya sekitar tahun 1960, beliau naik sepeda motor militer, di atas laut Jawa, menyeberang ke Madura. Kalau mengemudikan mobil, tangan dan kaki beliau dilepas, dan mobil dikomando dengan ucapan. Beberapa kali orang menyaksikan beliau menghidupkan orang, yang telah dinyatakan mati oleh dokter, dan siap dikubur. Beliau sering berada di beberapa tempat pada saat yang sama, dan di tiap tempat beliau makan minum seperti biasa.
Setiap kali, sekalipun dihadapan beliau menghadap ratusan orang, beliau bercerita. Dan setelah selesai bercerita, ternyata semua pertanyaan dan persoalan yang ada di benak yang hadir, sudah terjawab semua.
Mudah-mudahan, suatu saat penulis bisa mengumpulkan pengalaman pengalaman para “kadhang”, yang tidak masuk akal, tetapi benar benar terjadi, dan mujijat mujijat Romo Herucokro Semono yang mereka saksikan, dan bisa penulis bukukan tersendiri.
Romo Semono wafat tanggal 3 Maret 1981, dan dimakamkan di Kalinongko, Loano, Purworejo. Romo Semono tidak dikaruniai anak. Tetapi meninggalkan ratusan ribu, mungkin jutaan Putro, yang tersebar di mana mana. Dan peninggalan beliau yang paling berharga adalah Sarana sarana Gaib, bagi mereka yang ingin Hidup bahagia (Tentrem), agar bisa menjalani dan mencapai “Kasampurnan Jati” pada saatnya masing masing.
Tinggalan beliau yang terakhir inilah yang sampai sekarang, dipelihara (“dhipepetri”) dan dilestarikan oleh Putro-putronya. Dilestarikan, dalam arti tetap dihayati dan diamalkan dan diberikan kepada siapa saja yang menghendaki, tanpa memandang perbedaan apapun yang ada pada manusianya. Jadi, sifatnya universal.
M A N U S I A
Manusia, seperti kita ketahui, terdiri dari Badan (Raga) dan Hidup (Nyawa, Rokh, Soul).
Raga manusia, dibentuk dari unsur unsur :
       1.Tanah (zat zat kimia organik dan anorganik);
       2.Air (kira kira 70% tubuh manusia terdiri dari air);
       3.Hawa (gas);
       4.Api (energy atau kalori);
Unsur unsur itu, melalui proses bio-kimia, pada Bapak menjadi sperma (sel mani), dan pada Ibu menjadi sel telur. Pertemuan sel mani dan sel telur, membentuk Raga.Kalau penyatuan sel mani dan sel telur itu dimasuki Hidup, barulah akan berkembang menjadi mudigah (embriyo), menjadi bayi, yang akhirnya dilahirkan di dunia.
Manusia itu, Raganya terdiri dari 7 (tujuh) lapis, yaitu :
         1.Rambut;
         2.Kulit;
         3.Daging (bahasa ilmiahnya otot);
         4.Otot (bahasa ilmiahnya saraf);
         5.Tulang;
         6.Sungsum;
        7.Darah (semua cairan tubuh
Tujuh lapis ini, yang dalam Ketuhanan sering disebut dengan berbagai sebutan kiasan.

Hidup
, berasal dari Tuhan Yang Maha Esa disebut Rokh Suci, karena berasal dari Maha Suci. Setelah menyatu dengan Raga, disebut Hidup (Urip), karena sudah tidak suci lagi.

Raga
, bagaimanapun, sejak pembuahan, sudah tidak suci. Karena kedua orang tua, betapapun kesadarannya akan fungsi meneruskan keturunan, tidak akan berbuat, kalau tidak disertai nafsu. Ini yang menyebabkan Raga, sejak asalnya sudah tidak suci. Ketidak sucian Raga, ikut mengotori Rokh Suci.
Maka, bayi yang baru lahirpun sudah tidak suci.
Bayi yang baru lahir, tahu, kalau lapar menangis, agar diberi makan (susu) oleh ibunya atau orang lain.
Siapa yang mengajari bayi itu?
Bayi itu diajari oleh Guru Sejatinya, yaitu Hidup.
Tak ada seorang ibupun, yang mengatakan pada bayinya, agar kalau lapar, menangis.
Tangis bayi, adalah Bahasa-Hidup. Maka, tidak bisa kita bedakan, tangis bayi Jawa, Sunda, Batak, Amerika, Inggeris, semua sama. Begitu juga Gerak bayi, adalah gerak-hidup, maka semua bayi sama geraknya.
Mulailah otak bayi mendapat masukan. Pintu masukkan, melalui Panca Inderanya. Tergantung masukan yang didapat, maka akan seperti apa nantinya bayi itu jadinya manusia, kanak kanak, sampai dewasa. Masukan bisa dengan sengaja dimasukkan, berupa pendidikan dan pengajaran, bisa juga tanpa disengaja, yaitu apa saja yang ditangkap Panca Inderanya dari lingkungannya.
Masukan itu, termasuk masukan tentang standar norma dan nilai nilai baik-buruk, benar-salah, boleh-dilarang, dan sebagainya. Termasuk norma dan nilai nilai moral dan etika. Bahkan juga soal keyakinan Ketuhanan.
Semua masukan itu, terekam dalam memori/otak manusia itu, yang kemudian jadi dasar manusianya dalam bertindak, dalam mengukur segala sesuatu yang dilakukannya, yang dialaminya, bahkan sebagai standar untuk mengukur perbuatan orang lain.
Karena masukannya berbeda, maka manusia berbeda pula dalam mengukur baik buruk, benar salah dan sebagainya. Hal ini yang selalu menjadikan manusia saling berebut baik, berebut benar. Baik dan benarnya masing masing saling dipegang teguh dan bahkan menyalahkan standar yang dipakai orang lain.
Kalau kita kembali ke bayi, kita akan menyadari, bahwa tangis bayi itu sama, gerak bayi itu sama, karena tangis itu suara Hidup, gerak itu gerak hidup. Jadi sebenarnya manusia itu sama. Berbeda hanya karena masukan yang diterima berbeda.
Hidup itu sama, karena berasal dari Yang Satu, yaitu Tuhan. Yang berbeda raganya, karena berasal dari tanah, air, hawa yang berbeda pula, serta dari Bapak dan Ibu yang berbeda pula.
Jadi, kalau Manusia mau memakai ukuran atau standarnya Hidup, pasti akan sama dalam menilai segala hal.

Raga bersifat materiil, jadi tidak kekal
. Satu saat harus hancur dan kembali menjadi tanah, air, hawa dan api.

Hidup, adalah immateriil, bersifat kekal, berasal dari Yang Maha Kekal
. Asalnya dari Tuhan, jadi seyogyanya kalau berpisah dengan raganya, langsung kembali ke Tuhan. Tidak mengembara (“nglambrang”) jutaan tahun.
Dalam pengertian di sini, otak dengan pekerjaannya (psyche, jiwa) juga tergolong Raga, karena itu masih merupakan kerjanya organ tubuh yang bersifat materiil. Jadi akal pikiran (logika dan ratio), termasuk emosi juga ter-golong raga.
Hidup, kuasanya Gerak, letaknya di Rasa. Maka, kalau makhluk-hidup ditinggalkan Hidupnya berhenti segala geraknya, dan kehilangan Rasa-nya (pada tumbuh-tumbuhan gerak akar dan gerak tumbuhnya yang berhenti). “Urip iku kuwasane obah, lenggahe ono ing Roso Jati”.
Manusia, kemudian juga menerima masukan berupa pendidikan dan pengalaman.
Masukan ini yang mendorong manusia berencana, bercita-cita, dan berusaha meraih apa yang diinginkannya. Keinginan manusia selalu sesuai dengan masukan yang pernah dia terima.
Orang yang seumur hidupnya belum pernah melihat, belum pernah mendengar tentang mobil, pasti tidak pernah ingin punya mobil. Gerak usahanya juga tidak akan pernah mengarah untuk bisa memiliki mobil.
Semua manusia, perjalanan hidupnya sama. Dilahirkan, dibesarkan, menjalani kehidupan dan penghidupan, sebagian besar kawin dan menghasilkan keturunan lalu mengulang perbuatan orang tuanya terhadap dirinya kepada anak-anaknya, kemudian menjadi tua, dan mati.
Tak seorangpun, betapa tinggi pangkatnya, berapapun besar kekuasaannya, berapapun kekayaannya, bisa mengelak atau menghindar dari jalannya hidup yang demikian itu.
Kalau ada perbedaan, hanyalah dalam “kembangan”-nya saja (variasinya saja). Sama sama makan, untuk mempertahankan hidup, yang satu di hotel berbintang lima, yang lain di kaki lima. Sama sama berpakaian untuk melindungi tubuh, yang satu memakai yang bermerk terkenal, yang lain tanpa merk sama sekali. Sama sama perlu bergerak dari satu tempat ke tempat lain, yang satu naik mobil, yang lain naik sepeda.
Perjalanan itu, menuju ke arah yang sama, yaitu kuburan. (Langsung atau melalui dibakar, dikremasi dulu).
Setiap hari, semua orang, berjalan selangkah demi selangkah mendekati kuburan. Bedanya, ada yang langkahnya cepat, ada yang lambat. Itu perjalanan raganya . Raga, tahunya hanya perjalanan ke kuburan.
Perjalanan “Hidup”, oleh manusia pada umumnya diabaikan.
Hidup yang selalu dipaksa mengikuti segala kehendak raganya, akan terbawa salah-arah. Hidup hanya diperlakukan sebagai budak, yang harus menurut dibawa kemanapun kehendak Raga-nya.
Padahal, tanpa Hidup , Raga (manusia) tidak bisa apa apa.
Semestinya, yang benar, Hiduplah yang menentukan arah dan langkah, sedang raga hanya mengikuti. Jadi, Hidup tidak salah arah, menuju kembali ke asalnya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Salah arahnya “perjalanan”, karena Hidup dipaksa mengikuti kehendak Raganya, menyebabkan Hidup tidak bisa langsung kembali menyatu (manunggal) dengan Tuhan.
Manusia yang dalam menjalani kehidupan dan penghidupan, tidak sesuai dengan yang dikehendaki Tuhan atas dirinya, “berjalan” zig-zag terlalu lebar. Keinginan dan kehendak kuat untuk mencapai apa yang dianggapnya baik dan benar, membuat usaha yang berlebihan, pada umumnya mengorbankan kebahagian dirinya, kebahagiaan keluarganya, demi tujuan yang menjadi obsesinya. Tidak sedikit, yang karena terlanjur melangkah ke suatu arah, lalu malu (gengsi) kalau harus mundur atau berbelok arah. Apapun ditempuhnya, demi mempertahankan harga diri yang tidak pada tempatnya, dengan segalanya dia korbankan. Masih beruntung kalau tercapai. Kalau sering kegagalan yang dihadapi, maka kekecewaan demi kekecewaan yang didapat, yang akhirnya menimbulkan stress (tekanan batin). Selama berusaha menggapai, ketegangan demi ketegangan dialami (strain).
Sementara orang, agar dianggap modern, mengatakan bahwa variasi ketegangan (strain) dan tekanan (stress) adalah seni hidup. Membuat hidup tidak monoton. Tetapi tidak sedikit yang melupakan bahwa Raga ada batas kemampuannya.
Akhirnya bermacam penyakit timbul sebagai akibatnya. Bahkan kelainan jiwa selalu menghinggapi sebagian besar manusia yang menamakan dirinya modern.
Kalau ingin selalu merasakan kebahagiaan Sejati, ikutilah kehendak Hidup. Karena Hiduplah yang tahu, apa yang terbaik bagi diri kita masing masing, menurut Maha Hidup, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Bagaimana caranya agar Manusia bisa kenal dan mengenal Hidup yang ada dalam dirinya
Itulah yang pada umumnya tidak diketahui orang.
Kenal, lalu mengenal Hidup, yang ada dalam diri kita, kemudian bisa berkomunikasi, berhubungan dengan Hidup kita sendiri, lalu bisa menerima petunjuk dari Hidup, dilindungi (“dhiayomi”), oleh Hidup. Itulah yang akan diuraikan dalam bab bab berikut dari buku ini.
Dan itu baru berguna, kalau kita ingin dan bertekad mau menjadi Manusia baru, Manusia yang dilahirkan kembali.
Menjadi Insan Spiritual, yaitu Hidup yang berbaju daging, tulang dan saraf, dan tidak lagi menjadi Insan Materiil, yaitu daging, tulang dan saraf yang dihidupi. “A Spiritual Being”, with flesh, bone and nerves, and not only as “A Living flesh, bone and nerves”.
Kalau itu yang menjadi keinginan, tujuan utama manusianya, maka barulah bab bab berikut dalam buku ini berguna.
MENGENAL “ H I D U P “
Hidup itu Gaib, maka tidak bisa dikenali dengan perabot pada diri kita, yang bersifat ragawi (materiil). Jadi, tidak bisa ditangkap oleh Panca Indera kita, keberadaannya (eksistensinya).
Telah diuraikan di depan, bahwa Hidup itu kuasanya Gerak, letaknya (“lungguhe”) berada di Rasa. Jadi hanya bisa dirasakan.
Yang dimaksud dengan Rasa dalam buku ini, bukan rasa yang merupakan salah satu indera dari panca indera, sense, tetapi Rasa yang ada di dalam diri kita, feeling.
Kita semua merasa, sebagai Orang Hidup. Dan kita pasti mengakui, bahwa kalau ditinggalkan Hidup, kita mati. Dan kalau kita Mati, semua yang ada pada diri kita, kepandaian, pengalaman, kehebatan, derajat-pangkat, kehormatan, kedudukan sosial, harta-benda, bahkan orang orang yang kita cintai, semua tidak berarti lagi. Semua tidak punya nilai lagi bagi kita.
Semasa masih hidup, kita bisa seperti sekarang ini karena dalam diri kita masih ada Hidup (“Isih kalenggahan Urip”).
Penulis bisa menulis buku ini, karena ada Hidup dalam dirinya. Pembaca bisa membaca ini, karena ada Hidup dalam diri pembaca.
Maka, marilah kita akui keberadaan Hidup itu, dan dengan jujur kita akui pula betapa sangat pentingnya peranan Sang Hidup itu pada diri kita.
Marilah kita berhenti memperbudak Hidup, dan kita mulai menjadikan diri kita sebagai Abdhinya Hidup
Siapa yang harus mengakui keberadaan dan peran Hidup itu ? Kita masing masing. Siapa diri kita itu? Tujuh Lapis Raga kita, dengan segala kerjanya.
Marilah, 7 (tujuh) lapis raga kita, seluruhnya kita ajak untuk mengakui keberadaan dan peranan Hidup atas diri kita. Kita ajak seluruh 7 (tujuh) lapis raga kita untuk tunduk dan menjadi abdhinya Hidup, agar setiap saat, raga kita itu diselamatkan dari hal hal dan perbuatan yang dikemudian hari bisa membuat kita tidak bahagia dan tidak bisa langsung kembali ke asal kita.
Karena hidup itu Gaib, maka untuk mengenalnya memerlukan Sarana yang bersifat Gaib pula.
Seluruhnya ada 5 (lima) sarana gaib, yang didapat Romo Herucokro Semono dari lakunya yang 41 tahun (1914 -1955). Maka, disebut Panca Gaib.
Sarana Gaib I, disebut K U N C I
Ini, gunanya, untuk memberikan bukti kepada diri kita masing masing, bahwa hidup itu memang ada dalam diri kita.
Yang dimaksud bukti, adalah bahwa diri kita masing masing, dengan menggunakan “Kunci” itu, tidak hanya percaya bahwa dalam diri kita ada Hidup, tetapi membuktikan, merasakan sendiri.
Dan kalau “Kunci” itu dihayati sungguh sungguh, diri kita masing masing akan diberi bukti tidak hanya tentang keberadaan Hidup, tetapi juga bagaimana bekerja dan kuasanya Hidup itu, atas kehidupan dan penghidupan kita sehari-hari.
Mohon perhatian :
Jangan tergesa-gesa. Pertimbangkan, renungkan dulu masak masak.
Benarkah kita memang ingin hidup Bahagia Sejati (Tentram), agar bisa selanjutya mencapai kasampurnan jati ?
Kalau kita tidak yakin, bahwa segala sesuatu itu Tuhan yang menentukan, dan yang terbaik itu apabila sesuai dengan kehendak Tuhan atas diri kita, maka seyogyanya jangan dulu mengenal Hidup, apalagi menggunakan Kunci Hidup itu.
Kalau kita yakin bahwa Tuhan yang menentukan segalanya, dan yang terbaik bagi diri kita adalah yang sesuai dengan kehendak Tuhan, bolehlah dilanjutkan.
Kalau belum yakin, bukannya tidak boleh, tetapi nantinya pasti akan dan ditinggalkan lagi, kehendak dan jalannya Hidup, yang sebenarnya merupakan kehendak dan jalan yang dikehendaki Tuhan bagi diri kita.
“ KUNCI “
Dalam menjalani Laku selama 41 tahun, Romo Semono menghabiskan waktu 25 tahun hanya untuk melengkapkan “Kunci” saja.
Tiap saat beliau hanya dapat satu huruf. Beberapa saat lagi, baru satu huruf lagi. 25 tahun baru huruf huruf yang beliau dapat itu lengkap, menjadi “Kunci”.
Jadi, “Kunci” itu bukan merupakan buah hasil pikiran Romo Semono.
Maka, kalau satu suku kata saja berubah, sudah bukan “Kunci” Hidup lagi, dan tidak akan ada gunanya.
Oleh karena itu, sampai saat ini, semua yang menghayati Laku Kasampurnan ini, apapun suku, bangsa dan bahasanya, dalam menggunakan Panca Gaib, diantaranya “Kunci”, harus tepat seperti apa adanya.
Tidak perlu, artinya tidak ada gunanya, kata kata dalam “Kunci” diartikan. Hal ini justru hanya akan mempersulit dan menghambat penghayatan kita. Apalagi diterjemahkan.
“Kunci” itu berupa kata kata, hanya disebabkan karena Romo Semono yang menerima, diwajibkan meneruskan kepada sesama manusia, yang menghendaki.
Sebenarnya “Kunci” itu Gaib. Kalau tanpa disertai kata kata kita tidak mampu menerimanya.
Tidak perlu dipikirkan arti dari kata-katanya.
Romo Herucokro Semono sendiri pernah menegaskan :
“ Kunci iku dhudhu unine, dhudu unen-unene, nanging kang mahanani uni” (Kunci itu bukan bunyinya, bukan kata-katanya, tetapi yang menyebabkan adanya bunyi).
Bahkan Romo Herucokro Semono pernah pula menyatakan :
“Upomo Kunci iku kudhu kaparingake marang wedus, mbokmenowo unine embek.” (Seandainya Kunci itu harus diberikan kepada kambing, barangkali bunyinya embek).
Kata-kata “Kunci” :
Gusti ingkang Moho Suci,
Kulo nyuwun pangapuro dumateng Gusti ingkang Moho Suci;
Sirolah, Dhatolah, Sipatolah;
Kulo sejatine satriyo / wanito,
nyuwun wicaksono, nyuwun panguwoso,
kangge tumindhake satriyo/wanito sejati;
Kulo nyuwun, kangge anyirnakake tumindhak ingkang luput.
Catatan :
Agar tidak terjadi salah faham :
Kata kata Sirolah, Dhatolah, Sipatolah, olah-nya dari kata seperti olah - olah, olah - rogo, dan semacamnya yang artinya “obah” atau gerak.
“Anyirnakake tumindhak ingkang luput”, maksudnya “lupute dewe”, salah pada diri sendiri.
Ada yang menggunakan :
“hanyirnakake”,
Boleh saja, silahkan dicoba, mana yang dirasakan lebih pas/cocok, bagi dirinya masing masing.
Lain-lainnya, satu suku kata saja, tidak boleh berubah.
Bahkan orang orang asing, lafalnyapun harus benar.
Tidak boleh di sini, artinya, kalau berubah, tidak ada gunanya sama sekali, karena sudah bukan “Kunci” lagi.
Kata “satriyo” digunakan oleh Pria dan kata “wanito” digunakan oleh Wanita.
Menggunakan “KUNCI”
Sering digunakan istilah “salah kaprah”, Membaca Kunci (Moco Kunci). Maksudnya bukan membaca dalam arti harfiah (leterlijk).
A. Dihafalkan dulu, kata-katanya, sampai hafal betul dan betul pula lafalnya.
B. Kalau sudah hafal, lakukan sebagai berikut :
        1.Duduk sesantai mungkin, sampai seluruh otot terasa lemas, lepas, napas sudah teratur, tidak    
           memikirkan bernafas lagi.
        2.Niat untuk menggunakan “Kunci”
        3.Kedua mata terpejam rapat.
        4.Tunggu sampai kedua lengan dan tangan bergerak sendiri, bersikap menyembah (patrap   
           Kunci) - lihat gambar 1.
        5.Ucapkan dalam Rasa, kata kata “Kunci”
Selanjutnya, apapun yang dirasakan, termasuk kalau lengan dan tangan bergerak sendiri, ikuti saja. Tidak perlu takut sama sekali. Tidak akan terjadi apapun, yang tidak baik.
Semua itu merupakan tanda, merupakan bukti, bahwa hidup itu benar benar ada dalam diri kita dan bisa kita rasakan sendiri, kita buktikan sendiri keberadaannya.
Latihlah terus, di saat saat senggang. Lama lama kita akan hafal betul, bagaimana rasanya, kalau kita menggunakan “Kunci” Hidup itu.
Kapan menggunakan “KUNCI”
“Tangi turu gregah Kunci, arep turu Kunci, ono opo-opo Kunci, ora ono opo-opo Kunci” (Bangun tidur segera Kunci, mau tidur Kunci, ada apa apa Kunci, tidak ada apa apa Kunci).
Jadi, yang wajib dilakukan adalah begitu bangun tidur, sebelum berbuat apapun, Kunci, dan saat mau tidur, Kunci.
Bangun tidur Kunci, maksudnya, agar sepanjang hari, kita dilindungi oleh Hidup. Dilindungi oleh Hidup, maksudnya agar kita dihindarkan dari berbuat salah, juga perbuatan salah terhadap diri kita, dihindarkan oleh Hidup.
Contoh :
Dalam rangka Penulis momong kadhang-kadhangnya selama bertahun-tahun, kalau ada kadhang kecopetan, pasti karena lupa Kunci. Belum pernah Penulis alami, ada kadhang yang tidak lupa Kunci, kecopetan di jalan.
Mau tidur Kunci. Maksudnya, agar sekalipun kita tidur, jadi raga sudah tidak ingat apa apa dan tidak bisa apa apa, Hidup selalu menjaga.
Contoh :
Tidak sedikit kadhang yang mengalami, kalau ada sesuatu, sekalipun tertidur pulas, serasa ada yang membangunkan. Dan kemudian ternyata, bangunnya itu memang berguna.
Ada apa apa Kunci, tidak ada apa apa Kunci.
Di manapun kita berada, dalam keadaan apapun, dari pada melamun, atau berfikir yang tidak tidak, lebih baik digunakan untuk “membaca” Kunci dalam rasa. Tentu saja, tidak perlu “patrap Kunci”, yaitu bersikap menyembah seperti dalam Gambar 1.
Sikapnya, disesuaikan situasi dan kondisi kita saat itu.
Gambar 1
Pengalaman,
Banyak sekali kadhang yang mengalami, dengan tidak lupa Kunci, Hidup menghindarkan dirinya dari melapetaka, kecelakaan, musibah, atau kejadian yang tidak mengenakkan. Tahunya setelah terjadi.
Mendapatkan “KUNCI”
Telah kita ketahui, kata kata “Kunci”, dari membaca tulisan di depan.
Kalau menggunakan “Kunci” dari menghafal tulisan itu, bisa, tetapi sampai bisa benar benar merasakan dayanya “Kunci” dan membuktikan pula kerjanya Hidup, karena menggunakan “Kunci”, sebaiknya, mintalah “Kunci” itu kepada salah seorang yang sudah lebih dulu menghayati Laku Kasampurnan.
Nantinya, yang memberikan bukan manusianya, tetapi Hidup memberikan kepada Hidup. Jadi dari Gaib kepada Gaib, yang diberikan, “Kunci” itu, juga Gaib.
PENGHAYATANNYA
Sesudah kita menggunakan “Kunci”, sebenarnya 7 (tujuh) lapis raga kita, jadi kita manusianya, menyembah kepada Hidup. Kita berjanji, akan menjadi Abdinya Hidup. Sembah kita kepada Hidup, akan diteruskan kepada Hidup yang menghidupi alam semesta seisinya, Tuhan Yang Maha Esa.
Jadi, kita memulai suatu penghayatan, yang sekaligus Pengalaman suatu laku, yaitu yang disebut Laku Kasampurnan Manunggal Kinantenan Sarwo Mijil, atau secara umum juga dikenal sebagai Penghayatan Kapribaden.
Agar tidak salah faham, laku ini adalah sebagai berikut :
Bisa dijalani (dihayati dan diamalkan) atau “dhilakoni” oleh anak umur 3 tahun. Asal sudah bisa menghafal “Kunci”, sudah bisa menghayati dan mengamalkan laku ini.
Bahkan Sarana Gaib ini, sudah bisa diberikan kepada bayi yang baru lahir. Penghayatan ini, tidak mengenal keharusan “tirakat”, “melekan”, berpuasa “ngebleng”, “kumkum” (berendam di air), meditasi dan sebagainya.
Inti Penghayatannya adalah :
Selalu tidak lupa kepada Hidup lalu selalu minta prtunjuk Hidup sebelum melakukan apapun dan mengikuti segala petunjuk Hidup, sekalipun bertentangan dengan keinginan dan kehendak kita semula.
Karena Guru Sejatinya Hidup kita sendiri, maka Guru Sejati itu yang paling tahu atas diri kita, dan Guru Sejati itu yang tahu apa sebenarnya kehendak Tuhan atas diri kita, dan bagaimana seharusnya melaksanakan semua itu. Guru Sejati itu akan selalu menyesuaikan dengan keadaan kita, kalau kita masih umur sekolah Taman Kanak kanak, maka Guru Sejati itu akan jadi Guru Taman Kanak kanak. Bagi yang sudah dewasa, Guru Sejati akan jadi Dosen atau maha Guru-nya.
Guru Sejati, dalam memberikan tuntunan berupa petunjuk kepada kita, sesuai dengan nasib yang kita alami, kita jalani dan kita hadapi serta kita kerjakan masing masing.
Maka, tidak ada 2 orang yang petunjuknya Hidup sama. Cap jari 2 orang Saudara kembarpun, tidak sama.
Laku kita sama, yaitu sama sama mengikuti Hidup, tetapi Lakon kita berbeda satu sama lain.
Petunjuk Hidup, diberikan sesuai lakonnya masing masing, tetapi intinya sama, yaitu agar tidak menyimpang dari jalan yang dikehendaki Tuhan atas diri kita masing masing.
Penghayatan ini, sedikitpun tidak menyuruh orang meninggalkan hal hal yang bersifat duniawi. Jadi, dalam menjalani kehidupan dan penghidupan, malahan harus wajar, harus biasa saja.
Kesenangan duniawipun, boleh dirasakan, dinikmati. Tetapi kita akan selalu dituntun, kesenangan yang bagaimana yang tepat untuk diri kita. Jadi kita terhindar dari menikmati kesenangan, yang kemudian berakibat kesedihan atau kesengsaraan.
Yang memang ditakdirkan harus kaya, juga boleh, tetapi akan selalu dituntun, agar kekayaan yang didapat sekarang ini, tidak mencelakakan atau menyengsarakan di kemudian hari. Termasuk tidak akan mencelakakan atau menyengsarakan anak cucu.
Memiliki kekuasaan (tentu saja sementara), juga boleh. Akan dituntun, agar jangan salah menggunakan kekuasaan itu. Sehingga hasilnya akan lebih kekal, karena sesuai yang dikehendaki Tuhan.
Yang ingin cukup, juga boleh, artinya selalu ter-cukup-i, segala yang dibutuhkan. Bukan yang diinginkan.
Semua itu, bukan kita yang menentukan, tetapi setelah kita terima, kita tidak akan berjalan salah-arah, dengan apa yang ada pada diri kita.
Kepandaian, kemampuan, kekayaan, kekuasaan, dan lain-lain yang ada pada diri kita, akan selalu digunakan oleh Hidup, dengan perantaraan diri kita, untuk hal hal yang dikehendaki Pemilik dari semua itu, yaitu Tuhan sendiri.
Hidup itu sama, sebenarnya Satu, (Urip iku podo, sejatine Siji).
Maka, kalau Penghayatan ini, dihayati dan diamalkan (“dhilakoni”) oleh seluruh anggota keluarga, kita akan merasakan hasilnya.
Rasa anggota keluarga yang satu selalu berhubungan dengan rasa anggota keluarga yang lain. Sambung rasa setiap saat.
Karena itu, keluarga akan selalu dalam suatu kesatuan yang kokoh-erat, harmonis, penuh diliputi Rasa Bahagia yang sejati.
Manusia, terbatas oleh dimensi ruang dan waktu. Manusia terbatas kemampuan akal-pikirannya.
Hidup tidak mengenal keterbatasan keterbatasan itu. Hidup bisa melakukan, mengatur apa saja, yang akal manusia tidak sampai, dan bahkan menurut akal manusia dikatakan tidak mungkin.
Manusia menyebut mujijat, atas kejadian kejadian yang akalnya tidak sampai. Bagi Hidup, tidak ada mujijat.
Para Penghayat Kapribaden telah banyak membuktikan, sesuai lakonnya masing masing, terjadinya hal hal yang tidak masuk akal, tetapi benar benar terjadi. Dan semuanya pasti baik dan benar, serta membuat tentram (bahagia) si Penghayat.
Pembuktian pembuktian (“paseksen”) itu, diberikan oleh Hidup, agar Manusianya, makin lama makin yakin akan kuasanya Hidup.
Kelanjutannya
Bagaimana?
Apakah setelah membaca uraian di depan itu, masih ingin dan masih berniat untuk menjalani Laku ini, dengan tujuan Hidup tenteram (Bahagia) di dunia dan akhirnya bisa Manunggal dengan Yang Maha Suci ?
Pertimbangkan dulu masak masak.
Di dunia ini, ditawarkan ribuan macam cara dan jalan bagi manusia dalam menjalani kehidupan dan penghidupan.
Termasuk diantaranya, faham yang mengatakan, hidup di dunia cuma sekali. Raih kesenangan dan kenikmatan sebanyak-banyaknya, masa bodoh nantinya.
Laku ini, tidak menakut-nakuti orang, agar orang mau begini atau begitu. Juga tidak menjanjikan sesuatu (“ngiming-iming”) agar orang melakukan ini dan itu. Apapun yang dikerjakan Penghayatnya, adalah atas kehendak dirinya sendiri (dalam arti Hidup-nya), dan akan dirasakan, dibuktikan sendiri sendiri, hasilnya.Yang tekun menjalaninya (artinya selalu patuh pada Hidup), tentu saja banyak bukti didapatnya banyak manfaat dirasakannya. Sebaliknya, yang setengah setengah, juga setengah setengah pula hasil yang didapatnya. Hidup itu adil. Manusia, bagaimanapun bijaksananya, tidak ada yang adil dalam arti sebenarnya.
Yang menyimpangpun (menyalahi kehendak Hidup), juga tidak menunggu kelak, segera merasakan buktinya (akibatnya), Ini diterima sebagai petunjuk pula. Hanya dalam bentuk kebalikan, agar kita tidak mengulanginya.
Kalau selama menggunakan “Kunci”, belum betul betul mendapatkan pengalaman, pembuktian, bahwa Hidup telah menuntun dan melindungi kita, jangan dulu tergesa-gesa, minta diberikan kelanjutannya.
Tekuni dulu, menggunakan “Kunci”, biarkan hidup memberikan bukti kemampuannya mengatur, menuntun dan melindungi, sampai kita benar benar yakin. Kalau semua itu sudah terjadi, itu baru “satu arah”. Artinya dari Hidup ke Kita manusianya. belum bisa dari Kita manusianya ke Hidup, komunikasinya. Jadi, baru komunikasi satu arah. Hidup ke Raga (manusianya). Raga (manusianya) ke Hidup, belum bisa.
Bagaimana?
Apakah sudah mantap mau melanjutkan?
Sudah? Baik. Silahkan.
“A S M O” - Sarana Gaib II
Pada waktu kita lahir, orang tua kita hanya melihat bayi yang lahir itu, yang tampak oleh panca Indera. Jadi, yang diberi nama (asmo), hanya raganya bayi. Padahal, bayi yang lahir terdiri dari Raga dan Hidup di dalamnya. Maka, wajar kalau yang dikembangkan selanjutnya, hanya Raganya.
Kalau ingin bisa berhubungan, berkomunikasi dengan Hidup, maka Hidup itu terlebih dulu, harus diberi “Asmo”.
Dalam hal ini, jangan diterjemahkan dengan Nama, Aran atau jeneng dan semacamnya.
“Asmo”, diberikan, hanya kepada mereka yang sungguh sungguh sudah membuktikan dayanya Hidup lewat “Kunci” dan sudah yakin benar akan kuasanya Hidup. Kemudian bertekad untuk bisa mengikuti segala kehendak (karsanya )-nya Hidup.
Benar ? Sekali lagi. Benarkah anda sudah siap dan bertekad mau menjalani kehidupan dan penghidupan anda, dengan selalu mengikuti, menuruti karsanya Hidup?.
Sekali lagi, anda renungkan dan pertimbangkan masak masak. Sebab, kalau Hidup anda sudah dapat “Asmo”, berarti anda sudah sepenuhnya menjadi Penghayat Laku Kasampurnan Manunggal Kinantenan Sarwo Mijil (Penghayat Kapribaden).
Kalau anda mengingkari Hidup, anda akan ditagih oleh Hidup anda sendiri. Sekalipun tak seorangpun tahu.
Dalam Penghayatan ini, tidak ada Guru-Murid. Tidak ada yang Menuntun dan Dituntun.
Kalau Hidup anda sudah dapat “Asmo” , dalam menjalani laku, anda sepenuhnya berdiri sendiri (mandiri, mandireng pribadi). Guru anda adalah Hidup anda sendiri, Penuntun anda adalah Hidup anda sendiri. Yang jadi murid adalah anda sendiri, yang dituntun adalah anda sendiri juga.
Bagaimana ? Siap ? Tidak ragu ragu lagi?
Kalau memang benar benar siap :
Mintalah “Asmo”-nya Hidup anda kepada Kadhang, yang memang sudah diperkenankan memberikan “Asmo”.
Setiap Penghayat, boleh, memberikan “Kunci” Hidup. Tetapi tidak setiap Penghayat diperkenankan memberikan “Asmo”-nya Hidup.
Boleh-tidaknya seseorang memberikan “Asmo”, ditentukan, diijinkan oleh Hidup itu sendiri, karena laku yang bersangkutan. Bukan diijinkan oleh seseorang.
Kalau dipaksakan, seseorang memberikan “Asmo”, padahal belum diperkenankan, maka tidak akan ada gunanya “Asmo” yang diberikan itu. Yang diberi, tidak bisa menggunakannya.
                                                                                                                   Diambil dari : Arum’ Blog