Cari Blog Ini

Cari Blog Ini

Sabtu, 28 Mei 2011

INDONESIA

Malam Jumat Kliwon, 26 mei 2011
     PANCASILA itu dasar Negara. Ada Negara Indonesia, yang aslinya nusantara dan ada negara pribadi manusia yang berupa sistem rangkaian hidup pada jiwa dan raga manusia.  Pancasila itu sebenarnya adalah simbul-simbul hidup manusia. Dan oleh para tokoh dahulu yang banyak perihatin serta banyak mendekatkan diri pada Tuhan, simbul-simbul hidup itu ditangkap dan dirumuskan ke dalam DASAR kehidupan berbangsa dan bernegara. BERBANGSA dalam posisinya manusia  sebagai manusia, sebagai umat dan BERNEGARA dalam posisinya manusia sebagai ‘wakil’ manusia yang lain untuk mengelola pemerintahan.
     Pemerintahan yang sesungguhnya adalah pemerintahan yang terdapat di dalam jiwa dan raga manusia itu sendiri. Pemerintahan yang tergelar di kenegaraan sebenarnya hanya symbol. Pemerintahan yang hakiki berada di dalam jiwa dan raga setiap diri manusia itu sendiri.
     Tubuh manusia merupakan sistem pemerintahan. Mulai bagaimana kaki melangkah, tangan bergerak, jantung berdetak, mata memandang, telinga mendengar, darah beredar, otak berfikir, nurani memilah dan sebagainya adalah sistem yang tertata rapi yang satu dengan yang lain harus seirama ‘bekerja’ dalam sebuah jalinan yang kompak dan menduduki fungsinya masing-masing. Tidak ada yang menonjolkan perannya sendiri-sendiri dan tidak ada yang saling berebut posisi. Misalnya, angan kiri iri atau demo ingin menjadi tangan kanan yang sering berhubungan dengan orang lain atau dengan makanan yang enak-enak sementara tangan kiri berhubungan dengan sesuatu yang “kotor”. Atau jantung yang memegang peranan penting di dalam tubuh tiba-tiba ingin menonjolkan diri, ingin diketahui orang lain sehingga ingin berada di luar tubuh dengan “ngundet-ngundet” atau pamer kepada organ tubuh yang lain bahwa dirinyalah yang paling berjasa di “pemerintahan” itu. Atau kaki dan tangan merasa malu berada dan tampil di luar sehingga ingin bersembunyi di dalam tubuh.
     Fungsi masing-masing pori-pori, masing-masing organ itulah kalau di dalam sistem pemerintahan Indonesia adalah fungsi dan kedudukan masing-masing orang. Semua harus menempati fungsinya masing-masing. Ndak usah merasa paling berjasa, paling pandai, paling bodoh, paling mulia, paling terjepit atau sebagainya. Kalau semua organ ingin menempati fungsi dan kedudukan organ yang lain, maka itulah “kehancuran” yang nyata.
     Yang difungsikan menjadi rakyat, yang seharusnya patuh pada pemimpin, merasa lebih pandai dan tidak patuh  atau ingin menjadi presiden sehingga berusaha menduduki fungsinya sebagai presiden, yang difungsikan oleh sistem sebagai presiden tidak menduduki fungsi yang sebenarnya sebagai presiden sehingga tugasnya terabaikan, yang menjadi pegawai merasa kurang nyaman menjadi pegawai sehingga berusaha menduduki fungsinya sebagai pengusaha, yang pengusaha merasa tidak nyaman dengan fungsinya sebagai pengusaha sehingga berusaha menduduki fungsinya sebagai penguasa, yang menjadi petani merasa kurang nyaman menjadi petani sehingga berusaha menduduki fungsinya sebagai mubalig dst…dst… Maka sistem akan hancur. Pemerintahan akan tak stabil. Ibarat organ tubuh yang tidak mau “nglenggana” menduduki fungsinya masing-masing, maka yang terjadi adalah “SAKIT”.
     Makanya PANCASILA itu harus urut, harus runtut, dan keharusan itu bukan ‘hukum kepatutan’ tetapi memang seperti itu seharusnya dan seperti itu adanya. Setelah manusia mengamalkan suatu sila, maka otomatis ia akan masuk ke dalam bab baru yang terkondisi pada sila berikutnya.
     Sebagai mana halnya sila yang ada pada sila pertama yang dilambangkan dengan BINTANG dalam BURUNG GARUDA adalah simbol hidup manusia itu sendiri. Itulah ‘Sang Pengatur’ kehidupan manusia di dunia ini. Orang banyak menyebutnya Nurani, ada yang bilang ‘bintang jauhar’ pada kitab2 tertentu. Wujudnya “bintang Kejora”, cahaya yang memancar dari sisi paling tengah, paling dalam pada manusia. Ia, Bintang berada di tempat yang gelap. Makanya tidak semua orang bisa menemukannya, karena begitu tersembunyinya ia di dalam dada manusia. Untuk menemukan bintang itu, maka manusia harus mampu mengalahkan nafsu yang empat, yaitu sufiah, mutmainah. Amarah dan aluamah yang masing-masing dilambangkan dengan rantai, pohon beringin, kepala banteng, dan padi kapas.
      Untuk ‘menemukan’ cahaya diri atau hati nurani atau ‘sang Pengatur’ atau apa pun namanya memang perlu perjuangan yang keras dan sungguh-sungguh. Memerlukan ‘kekosongan’ nasfu dari segala keinginan. Kalau nafsu yang empat tersebut sudah bisa dikendalikan, sudah bisa menjadi tak bertenaga, maka cahaya nurani itu akan ‘terlihat’.
     Nafsu yang empat (sufiah, amarah, aluamah, dan mutmainah) tidak bisa dihilangkan selama manusia masih hidup. Yang diminta oleh Tuhan adalah megendalikan. Mengendalikan dari keinginan-keinginan yang tak terkontrol.
     Untuk mengendalikan nafsu yang empat tersebut, maka perlu mengenali sifat dan perilaku nafsu tersebut.
a.            Mata sebagai tempatnya nafsu sufiah, yang dilambangkan rantai dalam burung garuda, mempunyai tugas memandang. Mata mau memandang yang baik maupun yang buruk, mau memandang yang diridhoi Tuhan maupun yang tidak diridhoi Tuhan. Ugasnya mata memang hanya memandang. Nafsu sufiah yang berada di matalah yang mesti dikendalikan. Nafsu sufiah mempunyai sifat selalu ingin menguasai (baca:memiliki) setiap yang dipandangnya dan yang cocok dengan kehendaknya. Memandang motor, ingin memiliki, memandang rumah bagus ingin memiliki, memandang lawan jenis yang cocok ingin memiliki dst..dst… Oleh karena itu nafsu sufiah dilambangkan dengan rantai. Maksudnya selalu ingin mengikat (Jw:Ngrante) apa saja yang dipandangnya yang dianggap cocok bagaimanapun caranya. Bisa mencuri, bisa membeli, bisa memaksa, bisa meminta dst. Ini perlu dikendalikan dalam setiap pribadi manusia.
b.           Hidung sebagai tempatnya nafsu mutmainah, yang dilambangkan dengan pohon beringin dalam burung garuda, mempunyai tugas membau. Nafsu mutmainah adalah nafsu kebaikan. Nafsu yang mendorong manusia untuk selalu berbuat baik. Makanya hidung tidak mau mencium/membau bau-bau yang tidak sedap/tidak baik. Ketika mencium bau yang sedap, hidung akan menariknya dalam-dalam dan ketika di tengah-tengah menghirup tersebut terselip aroma yang tidak sedap maka hidung akan segera menghentikan tarikan nafasnya.  Lambang beringin yang dimaksud adalah tempat yang sejuk yang rindang sebagai lambang nafsu mutmainah / lambang kehendak yang baik. Apakah nafsu ini juga perlu dikendalikan ? Iya ! Nasfsu berbuat baik manusia yang tidak terkendali justru akan menghancurkan sistem yang seharusnya ada. Contoh: Sayang itu baik. Karena terlalu sayang pada anak dan istri maka seorang suami ingin selalu berdekatan dengan mereka dia tidak mau meninggalkan sebentarpun walaupun itu untuk bekerja mencari nafkah. Bersedekah itu baik. Karena terlalu sukanya bersedekah maka semua hartanya diberikan orang lain sampai-sampai keluarganya tidak kebagian, pajaknya tidak dibayarkan, hajinya tidak terlaksanakan, dsb.
c.            Telinga sebagai tempatnya nafsu amarah, yang dilambangkan dengan kepala banteng, mempunyai tugas mendengar. Sifatnya telinga adalah mau mendengar suara yang baik, yang merdu, dan juga mau mendengar suara yang jelek. Telinga mau mendengar petuah-petuah dan ayat-ayat Tuhan, tetapi juga mau mendengarkan suara orang yang membicarakan kejelekan orang lain (menggunjing). Sifatnya amarah adalah dengan suara yang datang kepadanya bisa menimbulkan semangat untuk berbuat sesuatu tetapi kalau kelebihan atau tidak dicocoki maka yang timbul adalah kemarahan. Makanya kalau orang marah, telinganya akan terasa panas dan memerah. Ini juga perlu dikendalikan dalam setiap pribadi manusia agar suara yang datang tidak sampai menimbulkan kemarahan, agar suara yang diizinkan masuk adalah suara-suara yang “baik” yang diridhoi Tuhan yang bisa menyemangati seseorang untuk berbuat baik dan benar.
d.           Mulut sebagai tempatnya nafsu aluamah, yang dilambangkan dengan padi kapas di dalam burung Garuda, mempunyai tugas sebagai pintu masuknya asupan jasmani dan menyampaikan pesan melalui ucapan. Sifatnya aluamah, mau makan minum barang yang halal maupun yang bukan. Mau berbicara yang baik juga mau bicara yang buruk. Itu juga harus dikendalikan.
    Semua nafsu tersebut harus dalam posisi terkendali menduduki fungsinya masing-masing secara proporsional. Pas. Tidak berlebihan. Keempat-empatnya harus seimbang atau balance. Siapa yang mengendalikan? Yang mengendalikan adalah “hidup” kita, Nur kita, ya kita yang sesungguhnya. Keempat nafsu tersebut adalah alat “kita”, alat “hidup” untuk melahirkan apa yang ada di dalam   (baca: diri kita).
     Ibarat mobil, maka keempat rodanya harus selaras, baik arahnya, kemiringannya, kelenturannya, tekanan anginnya dsb. Makanya perlu di spooring dan di balancing. Ibarat mobil, unsure panas, pendingin, udara, dan bodi harus selaras. Makanya perlu dipanasi, makanya perlu radiator dan juga filter udara. Mobil juga perlu rangka yang kokoh. Begitu juga unsur pembentuk manusia yg terdiri dari air, api, angin, dan bumi, maka keempat unsur itu juga harus seimbang dan terukur.  Kalau keempat unsur tersebut sudah selaras dan serasi maka sang sopir akan mudah dan nyaman untuk mengendalikannya. Untuk itu, sebelum mobil dijalankan, sang sopir wajib ngecek atau mengontrol seluruh komponen tersebut.
      Ketika seluruh komponen sudah siap dan fit, tugas sopir juga harus menyediakan lampu penerang dan memahami rambu-rambu yang ada di sepanjang perjalanan.
     Bintang, nurani, atau apa namanya yang merupakan kesejatian kita itulah “Sang Sopir” dan keempat nafsu serta alat indra tersebut adalah alat untuk menjalani samudra kehidupan ini. Tidak dibenarkan oleh sistem, setiap nafsu berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan kemauannya masing-masing. Semua harus tunduk patuh pada “Sang Sopir. Itu baru kendaraan akan terasa nyaman.
     Kalau “kendaraan sudah normal semua, tinggal bagaimana bisa mencapai tujuan yang akan dituju? Maka “Sang Sopir” pertama harus mengerti rambu-rambu di perjalanan. Yang kedua, harus ada cahaya atau sinar yang bisa menerangi jalan agar tidak terperosok ke jurang dan bisa mengetahui dengan pasti kondisi jalan yang dilalui. Rambu-rambu atau aturan itulah syari’at, jalan yang dilalui itulah thoriqot,  dan cahaya penerang itulah hakikat, sedangkan pahamnya sang sopir terhadap jalan yang dilalui dan tujuan yang jelas yang akan dicapai itulah ma’rifat (kenal).
     Kembali ke Pancasila, kalau manusia paham ini, mengenal Tuhannya dengan pemahaman yang benar (ma’rifat) dan dengan syahadah (menyaksikan dengan sebenarnya penyaksian) bukan mengenal karena kata orang atau kata buku dengan tanpa ‘menyaksikannya’ sendiri, maka dia akan menjadi manusia sejati, manusia seutuhnya, manusiah yang sempurna atau insan kamil. Manusia yang sebenarnya manusia, bukan hanya raganya yang manusia tetapi yang berkuasa, yang bersemayam di dalamnya adalah iblis (api) dan bukan pula binatang (yang tidak mengerti aturan dan tata krama). Inilah yang dimaksud pencetus Pancasila dulu sebagai “Pancasila, membentuk manusia seutuhnya” Manusia yang utuh. Jiwanya manusia dan raganya juga manusia.
     Yang banyak terjadi sekarang adalah raganya manusia tetapi jiwanya iblis atau binatang.  Makanya yang terjadi adalah iri, dengki, menggunjing, umpatan, ketidakterimaaan, ngawut, berbuat semaunya sendiri, berbuat menurut ‘kebenarannya’ sendiri, bukan mengikuti kebenaran Tuhan yaitu berbuat sesuai dengan posisinya masing-masing. Ada lagi yang merasa benar kemudian berusaha membenarkan orang lain, siapa pun orang yang ‘dibenarkan’ itu, dengan cara-cara yang justru tidak benar menurut posisinya dan aturan serta tata karma ketuhanan. Atau ada yang memilih diam tetapi di dalam dadanya isinya umpatan, sumpah serapah, dan maido orang lain yang dianggapnya tidak sesuai dengan paham keyakinan kebenarannya. Orang-orang semacam inilah yang disebut manusia yang ‘tidak utuh’, manusia yang kelihatannya manusia yang beradab tetapi sebenarnya yang menguasai dirinya adalah sifatnya iblis dan sifatnya binatang, apa pun topeng yang ia pakai.
     Kalau manusia asyik mendekat mengenal Tuhannya dengan nurani (bintang) nya, kemudian benar-benar “menyaksikan” / syahadah kepada Tuhannya maka Tuhan akan menjawab dengan “tugas” yang harus diemban tiap-tiap manusia sesuai dengan posisinya masing-masing.
     Nah, kalau sudah seperti ini semua manusia, apa masih ada celah buat manusia untuk tidak bersatu? Karena masing-masing manusia mempunyai tugas masing-masing, maka  yang harus dilakukan antarmanusia adalah musyawarah yang didasari hikmah yang terkandung dalam jiwa ketuhanan tersebut. Dan disinilah terpancarnya keadilan Tuhan. Dan di sinilah yang disebut “Madege Ratu Adil”. Yang dijadikan “ratu” adalah keadilan Tuhan. Bukan keadilan menurut ukuran masing-masing manusia.
     Yang terjadi saat ini adalah semua merasa benar, semua merasa pandai, semua merasa orang lain tidak tepat posisi, semua merasa pendapatnya yang paling benar, semua merasa dirinyalah yang bijak, semua merasa yang terjadi saat ini tidak baik. Aneh.! Semua merasa berhak mengatur keadaan. Insan / manusia yang Pancasilais tidak akan disibukkan dengan hal-hal itu tanpa “amanah dari Tuhan yang diterimanya secara pribadi”. Dia akan sibuk membenahi dirinya agar menjadi manusia yang utuh, yang seutuhnya manusia, agar bisa menjadi khalifah-Nya di muka bumi ini dengan ‘kehendak-Nya’ bukan kehendak nafsunya pribadi. Ia tidak akan disibukkan dengan mencari-cari kesalahan orang, ia tidak akan disibukkan dengan memberikan penilaian terhadap apa yang dilakukan orang lain karena ia senantiasa sibuk dengan ‘mengenal’ Tuhannya dan disibukkan dengan mengagungkan-Nya.
    Kalau semua manusia bisa sibuk dengan introspeksi diri terhadap kekuranganya dalam “berbakti” kepada Tuhan, maka tidak akan tidak, pasti akan terjadi sebuah tatanan yang beradab, yang bertata karma, yang saling toleran, yang mengharagai sesama, yang kata orang-orang MADANI, yang adil, yang saling memaafkan, yang saling mangasihi, yang saling menyayangi, yang Baldatun Toyibatun fa Robbun Ghofur… atau entah istilah apa lagi yang bisa diucapkan manusia, Karena inilah tatanan kehidupan yang BERKETUHANAN YANG MAHA ESA..!!
      Kalau ini terkondisi, kalau ini terwujud, maka saatnyalah MERAH PUTIH berkibar dengan anggunnya di tiang bendera yang menjulang tinggi ke angkasa. Apa itu merah putih? Merah putih adalah unsur raga manusia yang terdiri dari merahnya darah dan putihnya tulang sebagai penyangga raga. Kenapa putih ada di bawah? Karena tulanglah yang menyangga raga (daging dll) yang teraliri darah berwarna merah . Kenapa menancap di tiang yang menjuang ke angkasa? Karena tiangnya adalah tanda atau lambang huruf ALIP yang bermakna ‘Allah”. Artinya adalah manusia yang ‘mengenal’ dan berpegang teguh pada Tuhannya dan hidup penuh dengan keindahan yang hakiki, keindahan dari Tuhan. Innallaha jamilun yuhibbul jamal…
     Alangkah indahnya keadaan seperti itu. Manusia berpegang pada tali yang erat pada ALLAH dan hidup penuh” kebebasan jiwa” yang …… yang….. tak terkatakan.
     Dari mana kita memulainya untuk sampai pada masa itu..? Mulainya adalah dari diri kita masing-masing. Jangan berusaha mengatur-ngatur orang lain. Kita berusaha mengatur diri kita masing-masing. Boleh mengingatkan orang lain tapi dalam bingkai kasih-sayang dan dalam bingkai Rahman-Rahim-Nya Allah. Setiap kali Bismillah… (mempunyai niat)  maka kelanjutannya adalah Arahman-Arrahim.. (kasih sayang). Kalau niat yang kita lakukan tetapi di dalam dada kita berisi kemarahan, kebencian, kedengkian dsb. Maka jangan lanjutkan. Karena itu sifat-sifat iblis dan kebinatangan. Dan ini dibutuhkan kejujuran diri dari kita masing-masing kepada suara yang ada di dalam dada kita masing-masing agar kita tidak termasuk golongannya orang-orang yang tertipu olehnya. Tidak usah mencari-cari dalil pembenaran yang sebenarnya adalah untuk membenarkan perilaku kita yang sebenarnya tidak benar.  Kalau manusia semua seperti itu, Insya Allah Negara (jiwa raga) kita tenteram, Negara Indonesia Damai, dan dunia serasi. Insya Allah.
      Semua dimulai dari diri kita masing-masing…….