Cari Blog Ini

Cari Blog Ini

Selasa, 14 Juni 2011

BURUNG GARUDA


     Apa ada sih dalam enslikopedi binatang yang namanya burung Garuda? Sampai saat ini penulis belum pernah menemukannya. Mungkin karena keterbatasan penulis terhadap hal itu. Tetapi walaupun ada, Burung Garuda yang dipakai simbul bangsa Indonesia, setidaknya bukan burung Garuda yang sebenarnya.Burung yang digunakan untuk simbul tersebut secara nyata adalah burung Rajawali. Mengapa kemudian dinamakan Burung Garuda? Itulah salah satu kehebatan orang-orang Indonesia pada waktu itu.
     Untuk memahami simbul / lambang ini, tentunya akan sangat sulit buat orang-orang yang ‘tidak mengenal’ dirinya sendiri. Simbul ini juga akan susah untuk dipahami bagi orang-orang yang suka menjustifikasi dan menghakimi orang lain dengan pendapat dan kesempitan pemahamannya sendiri. Juga akan sulit dipahami bagi orang-orang yang tidak suka memberikan asupan makanan bagi jiwanya dengan keheningan dan tafakur.
     Dalam banyak ajaran tentang “hidup” banyak ditemukan tentang pentingnya tafakur, pentingnya mengenali diri sendiri (arofa nafsahu ), pentingnya ajaran empaty, pentingnya tepa selira, pentingnya ‘mengenali Tuhan (arofa Robbahu), pentingnya kesadaran diri, pentingnya motivasi hidup, dsb.
     Kalau mau menggali tentang ajaran “HIDUP” maka akan banyak sekali ditemukan di masyarakat yang disampaikan dengan ajaran dan gaya yang berbeda-beda. Ada ajaran yang mengatakan “siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan ‘mengenal Tuhannya” (man arofa nafsahu waman arofa Robbahu).  Oleh sebab itu, proses mengenali dirinya sendiri sangat berpengaruh besar terhadap proses ‘mengenal Tuhan’.
     Siapa sebenarnya diri kita dan apa yang kita gunakan (manusia) untuk menjalani hidup di dunia ini? Jawaban itu dijawab dengan lambang, dengan simbul yang digali dari tokoh-tokoh arif bangsa Indonesia pada waktu itu. Wujudnya adalah Burung Garuda. Mengapa Burung Garuda? Sebelum terjawab ini, perlu dipahami bahwa tokoh yang melahirkan ini sebagian besar banyak terinspirasi oleh bahasa Jawa.
     Burung Garuda merupakan singkatan dari GAmbaran RUpane DAda (Gambaran isinya Dada). Dada siapa ? ya dada setiap manusia. Khusus manusia Indonesiakah? Tidak. Tetapi isi dada seluruh umat manusia di dunia.
     Coba dilihat apa yang tergantung di leher dan menempel tepat di dada burung Garuda? Ada bintang di tengah yang diliputi warna hitam, ada kepala banteng, pohon beringin, rantai yang melingkar, dan padi kapas. Gambar-gambar tersebut hanya sebatas simbul-simbul atau lambang-lambang belaka.
Makna yang tersembunyi di balik itu adalah:
1.           BINTANG. Bintang yang berada di tengah dan diliputi warna hitam adalah gambaran NURani manusia. Secara bahasa (Arab) Nur artinya ‘cahaya’ dan Ani berarti ‘saya’. Dalam kitab tertentu disebut dengan istilah ‘lintang jauhar’. Di sinilah “bersemayamnya” suara kebenaran sejati, suara kebenaran yang masih murni yang tumbuh dari jiwa manusia yang paling dalam, dari jiwa manusia yang masih jujur, murni, dan belum terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan tertentu.Dalam istilah lain, ini dinamai dengan kalbu. Di sinilah tempatnya “suara Tuhan” ( Kalbu mu’min Baitullah) ‘ Kalbunya/hatinya orang-orang yang beriman adalah “rumah” Tuhan. Tentunya yang terakhir ini tidak bisa dipahami secara sembarangan. Untuk mengupas yang ini tentunya ada ilmunya khusus yang dimengerti oleh orang-orang yang arif dan benar-benar ma’rifat kepada Tuhan dan itu bukan maqam/kedudukan penulis untuk berani mengupasnya karena penulis masih jau.u.u.u.h dari kedudukan itu.
     Mengapa diliputi warna hitam pekat? Karena untuk mencapai, untuk menemukan bintang di dalam dada kita diperlukan tekad yang kuat, kemauan yang sungguh-sungguh, dan yang terpenting harus mendapat hidayah dari Tuhan. Sebelum mencapai bintang yang bersinar di dalam dada manusia, maka perlu pengendalian yang benar, yang tepat terhadap empat simbul yang mengelilinginya yang meliputi rantai, beringin, padi kapas, dan kepala banteng dengan pondasi merah putih.
     Kalau manusia tidak mampu mengendalikan yang empat tersebut, maka akan sulit untuk ‘menemukan dan menyaksikan’ bintang bersinar di dalam dadanya.

2.           RANTAI. Rantai adalah simbul nafsu manusia yang bernama Sufiah. Kendaraan nafsu sufiah  ini adalah  mata. Perilaku atau tugas mata hanyalah sebatas memandang atau melihat. Mata mau memandang yang baik yang diridhoi Tuhan maupun yang jelek dan tidak diridhoi Tuhan itu urusan lain. Selanjutnya, setelah mata melihat sesuatu, kemudian timbulah keinginan-keinginan yang bermula dari memandang tersebut. Keinginan-keinginan yang timbul dari hasil memandang  itulah yang disebut nafsu sufiah. Apakah nafsu sufiah itu jelek? Tidak. Yang diperlukan dari semua nafsu kita adalah PENGENDALIAN agar tidak mengingkari nurani kita.
     Umumnya, setiap kali mata memandang, lalu diikuti dengan keinginan-keinginan untuk menguasai (Jw:ngrante) atau mengikat atau apa yang dilihatnya. Mata memandang sesuatu yang bagus, yang indah, yang cantik, yang tampan, atau apa pun maka kemudian timbul keinginan untuk memiliki/menguasai. Itulah makna rantai.
     Keinginan menguasai yang tak terkendali itulah yang akan merusakkan tatanan. Keinginan yang tak terkendali, yang tidak mengikuti aturan dan tata krama inilah yang menyebabkan manusia akan berperilaku seperti hewan. Keinginan dari hasil melihat yang tidak terkendali ini jugalah yang menyebabkan manusia merampok, mencuri, korupsi, menodong, dsb. Manusia yang tidak mampu mengendalikan nafsu sufiahnya seperti inilah yang dinamakan raganya manusia tetapi sebenarnya jiwanya adalah hewan. Karena jiwanya sedang dikuasai oleh sifat-sifat kebinatangan. Keinginan untuk berkuasa atau menguasai yang tidak terkendali seperti itu jugalah yang akan menutupi manusia dari ‘menemukan’ bintang/nurani/kecerahan/penerangan yang hak dari Tuhan.

3.           KEPALA BANTENG. Kepala banteng adalah simbul dari nafsu amarah. Kendaraan yang digunakan untuk nafsu amarah adalah telinga. Tugas telinga hanyalah sebatas mendengar. Telinga mendengar suara yang baik seperti petuah, ayat-ayat Tuhan, dsb mau tetapi  mendengar yang jelek seperti gunjingan, umpatan, cacian dsb juga mau.
     Hasil dari mendengar tersebut bisa kesejukan hati, kebahagiaan, semangat hidup, dan juga kemarahan atau kebencian. Yang memproses suara sehingga menimbulkan rasa tertentu di dalam jiwa itulah yang dinamakan nafsu amarah. Tugas manusia adalah mengendalikan sestabil mungkin agar tidak menimbulkan kebencian dan amarah di dalam jiwa dari hasil mendengarnya telinga.
     Apakah nafsu amarah juga jelek? Tidak. Tanpa nafsu amarah maka manusia tidak akan mempunyai semangat hidup, loyo, dan bermalas-malasan. Yang dikehendaki adalah mengendalikan nafsu ini agar tidak ‘menutupi’ manusia dari menemukan bintang yang tersembunyi di tengah-tengah. Tetapi kalau tidak bisa mengendalikan maka manusia akan tertutup (kafir) dari menemukan nuraninya. Yang timbul kemudian adalah kemarahan-kemarahan dengan berbagai bentuknya. Oleh sebab itu, ketika manusia marah, telinga akan terasa panas dan berwarna kemerahan. Sifat panas tersebut tentunya berasal dari api. Sedangkan api adalah bahan dasar dari iblis. Jadi, orang yang tidak bisa mengendalikan kemarahan inilah yang sebenarnya sedang dikuasai sifat dasarnya iblis. Raganya manusia tetapi yang bersemayam di dalamnya bisa jadi adalah iblis.
4.           PADI KAPAS. Padi kapas adalah simbul dari nafsu lawamah/aluamah. Kendaraan yang digunakan oleh nafsu ini adalah mulut. Tugas mulut adalah makan dan kalau bekerja sama dengan lidah serta udara, maka mulut juga mempunyai tugas untuk berbicara atau mengeluarkan suara. Tetapi dalam hukum jasmani, mulut tugasnya adalah memasukkan asupan gizi untuk memenuhi kebutuhan raganya agar lestari dan menjadi ‘tempat’ yang nyaman untuk jiwa kita bersemayam atau bermukim melakukan aktifitas di dunia sampai batas akhirnya selesai.
     Mulut mau memasukkan benda apa pun, baik yang halal maupun yang haram. Tugas nafsu aluamah adalah memilah mana yang seharusnya dimasukkan dan mana yang tidak seharusnya di masukkan. Kalau hal ini tidak terkendali, tidak mengikuti aturan Tuhan seperti pada sila pertama, maka hal ini juga akan menutupi manusia dari mengenal dirinya, dari mengenal Tuhannya, atau dari mengenal bintangya yang tersembunyi di tempat yang ‘gelap’ yang jauh berada di dalam ‘dada’ manusia.

5.           BERINGIN. Beringin adalah simbul nafsu mutmainah. Kendaraan yang digunakan oleh nafsu mutmainah adalah hidung. Tugas hidung adalah membau/mencium. Hidung inilah satu-satunya indera kita yang tidak mau memasukkan yang jelek. Hidung hanya mau menghirup aroma-aroma yang sedap, yang enak, yang wangi dsb. Sifatnya nafsu mutmainah adalah ingin selalu berbuat kebaikan. Tidak mau yang jelek. Tetapi betapapun keinginannya untuk berbuat baik, di sini juga bisa menjadi perusak tatanan, bisa menutupi manusia dari bertemu bintangnya, dari mengenal Tuhannya.
     Hlo kok bisa..?
     Iya. Nafsu manusia yang selalu ingin berbuat baik, tanpa didasari pemahamannya terhadap Ketuhanan yang kafah atau menyeluruh, maka niat baik yang diwujudkan di dalam perilakunya justru akan menjadi penghalang manusia untuk mengenal nuraninya, mengenal Tuhan. Ujung-ujungnya justru malah akan merusak tatanan.
     Ukuran baik yang dipakai masing-masing manusia tentu akan berbeda dengan ukuran baik yang dipahami orang lain. Misalnya, membantu orang lain itu baik tetapi karena keinginanya yang kuat untuk membatu orang lain sehingga keluarganya sendiri terabaikan jadinya malah merusak rumah tangganya sendiri. Keinginan yang kuat untuk berbuat baik atau membahagiakan keluarganya akhirnya uang pemerintah, uang rakyat dikorup. Keinginan yang kuat untuk berbuat baik dengan tujuan agar rakyat hidup bahagia, pemerintah dihujat, negara dikorbankan ujung-ujungnya rakyat juga yang sengsara. Keinginan yang kuat agar demokrasi berdiri dengan baik tetapi cara-cara yang ditempuh justru tidak demokratis. Keinginan yang baik agar HAM berjalan baik, tetapi justru pencapaiannya malah merugikan hak asasi manusia yang lain.
     Oleh karena itu, nafsu mutmainah juga perlu dikendalikan dan diberi porsi sesuai dengan porsinya.

      Itulah sedikit gambaran dari lambang Burung Garuda. Ada lima lambang yang terpampang di dada Sang Burung Garuda. Satu di tengah dan yang lima berada di sekililingnya. Dalam ajaran Jawa hal ini diungkapkan dalam ungkapan “keblat papat, lima pancer” (arah empat dan yang kelima sebagai poros atau asnya) atau “sedulur papat, kalima pancer”.Atau, mungkin, mengapa sahabat Nabi Muhammad SAW itu banyak tetapi yang terkenal hanya empat (Umar, Usman, Abu Bakar, dan Sayidina Ali)? Empat sahabat dan yang pusatnya atau pancer (Jw) nya adalah Rosulullah. Atau perlambangan dari malaikat. Malaikat itu banyak tetapi mengapa yang sering dikenal hanya empat (Jibril, Mikail, Isrofil, dan Izroil) dan komandannya adalah Allah? Mungkin agama-agama yang lain juga mengenal empat sahabat dan yang kelima adalah “komandannya”.  Benar salahnya, Wallahu A’lam bisawab.
     Yang jelas, kalau manusia memahami semua itu,mengamalkannya, serta menjadikan ajaran itu sebagai ruh dalam kehidupan sehari-hari, maka tidak aka ada manusia yang semena-mena, membeda-bedakan satu sama lain, membeda-bedakan bangsa, membeda-bedakan suku, agama, keturunan, kepandaian, kekayaan, jabatan dan lain-lain. Tidak ada cacian, makian, maido, kemarahan, gunjingan, kebencian, dsb. Semua sama, semua satu yaitu umat ciptaan Tuhan dengan berbagai macam peran sesuai yang diperintahkan Tuhan kepada dirinya masing-masing. Lakum dinukum waliadin.
     BHINEKA TUNGGAL IKA. Manusia  akan memegang erat prinsip ini. Hal ini seperti dilambangkan Sang Burung Garuda yang memagang erat pita yang bertuliskan bhineka tunggal ika tersebut.  Semua menduduki fungsinya masing-masing. Yang atasan menduduki fungsinya sebagai atasan secara benar, yang bawahan menduduki fungsinya sebagai bawahan secara benar pula. Yang menjadi pemimpin menduduki fungsinya sebagai pemimpin yang baik, yang rakyat menduduki fungsinya sebagai rakyat secara baik. Yang dagang, yang guru, yang petani, yang penjahit, yang  profesi-profesi yang lain juga mampu menduduki fungsinya secara benar pula. Tidak ada yang saling mencampuri. Tidak ada lagi yang merasa sok benar, sok pintar, sok baik, dll yang ujung-ujungnya malah membuat suasana menjadi runyam.
     Seperti yang terjadi saat ini, ajaran Pancasila banyak ditinggalkan, dianggap kuna, dianggap tidak sesuai zaman dst. Banyak orang yang merasa lebih pandai, merasa pintar, lebih benar dst. Sehingga terjadi pemimpin tidak mampu menjadi pemimpin yang benar dan tidak mampu memimpin rakyatnya dengan benar, tidak mencerminkan jiwa, perilaku layaknya seorang pemimpin. Pemimpin tidak lagi menduduki fungsinya sebagai seorang pemimpin. Yang rakyat tidak lagi mampu menjadi rakyat yang benar sehingga merasa berhak mengajari pemimpin tentang bagaimana menjadi pemimpin yang menurutnya benar. Rakyat tidakmau  lagi patuh pimpinan karena rakyat merasa lebih pandai, lebih, pintar, lebih benar  lebih tahu dari pada pemimpinnya. Yang petani ngurusi politi, yang diberi tugas oleh Tuhan sebagai pedagang malah ngurusi negara, yang ditugasi sebagi wakil rakyat malah mewakili dirinya sendiri, dst…dst.. yang intinya manusia tidak lagi menduduki fungsinya masing-masing sebagaimana yang dititahkan oleh Tuhan.
     Manusia yang secara menyeluruh, secara total mengamalkan pancasila tersebutlah yang smendapatkan gelar wali/wakil/utusan/kholifah Tuhan di muka bumi ini dan itu dilambangkan dengan burung RAJAWALI.
                                                                                  
                                                                                                       Dadik

Kritik, Saran, Masukan, Cacian, cemoohan yang bertujuan untuk menyempurnakan pemahaman ini yang saya tunggu dari para pembaca. Tinggalkan komentar Anda di kolom di bawah ini. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar