Cari Blog Ini

Cari Blog Ini

Sabtu, 18 Juni 2011

> NIAT dan KETULUSAN

     Introspeksi dalam segala hal dan dalam segala bidang sangat diperlukan oleh siapa saja yang ingin menjadi lebih baik. Tidak terkecuali bagi orang-orang yang menfokuskan hidupnya untuk mencari ridho Allah. Sebelum introspeksi dilakukan, diperlukan kesadaran diri, kerelaan diri untuk menanggalkan semua prasangka baik dan prasangka buruk yang ada di dalam diri seseorang. Diperlukan pula kerelaan seseorang yang akan melakukan introspeksi untuk “mencurigai” setiap pendapat yang selama ini dianggap baik yang telah ada pada dirinya.
     Banyak sekali perilaku “penyembah” Tuhan tidak menyadari bahwa yang sebenarnya disembah dan diagungkan, setelah diteliti secara lembut, ternyata bukan Tuhan melainkan nafsunya sendiri atau angan-angannya sendiri.
      Bagaimana bisa sampai demikian?
      Mari kita fokuskan perhatian kita kepada rasa kita yang mengalir di seluruh aliran darah lalu sinkronkan dengan  tata krama terhadap Tuhan. Apakah menurut suara nurani di dalam dada kita, apa yang telah kita lakukan, apa yang kita anggap benar selama ini sudah betul-betul benar di ‘hadapan’ Tuhan (bc: diridhoi Tuhan)? Pada tahap ini, pemahaman syariat sudah berlalu. Maksudnya berlalu adalah bahwa ajaran syariat sudah dipahami dan sudah dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
     Setelah syariat sudah dengan baik dilaksanakan, baru ‘memandang’ ke dalam RASA diri, apakah perilaku syariat yang kita lakukan sudah tulus sampai ‘menembus’ rasa jiwa (rasa di dalam rasa) kita? Apakah yang sesungguhnya kita harapkan dari setiap bentuk kepatuhan yang kita lakukan selama ini? Apa yang kita harapkan dari setiap ‘ritual’ ketuhanan yang kita lakukan selama ini?
     Banyak sekali para “pencari” Tuhan yang terjebak kepada “penyembahan” terhadap nafsunya sendiri. Misalnya, setelah aku demikian dan demikian, maka hatiku menjadi tenteram. Setelah aku demikian dan demikian jiwaku terasa sejuk. Setelah demikian dan demikian aku menjadi bisa demikian dan seterusnya. Ada lagi yang model aku akan berlaku, lelaku, menjalankan ritual tertentu, (puasa, sholat dzikir, zakat, haji,dsb) agar demikian ( agar terang hati, agar tenteram, agar bisa mempunyai kelebihan tertentu dst.). Ada juga yang model aku melakukan ini (seakan-akan) semata-mata karena Tuhan (lillahita’ala).
     Mari kita teliti dengan jujur semua itu.
     Yang dinamakan lillahita’ala, Bismillah, itu melakukan segala sesuatu, apapun bentuknya semata-mata karena Tuhan, bukan karena yang lain, apapun alasannya. Tetapi seringkali kita terjebak oleh kata-kata tersebut. Yang dimaksud “terjebak” adalah melakukan sesuatu yang bukan karena Tuhan, tetapi karena hal itu  kita dianggap baik dan kita rasa sesuai dengan syariat yang kita dipelajari baru kemudian kita niati lil ahita’ala. Padahal, kalau diteliti secara benar, sebenarnya kita melakukan seperti itu bukan karena Tuhan tetapi karena DIRI kita menginginkan sesuatu. Sesuatau tersebut bisa berupa kenikmatan jasmani (harta, jabatan, keselamatan,dll) juga sesuatu yang berupa kenikmatan rohani ( ketentraman, kedamaian, kekuasaan, kebisaan terhadap sesuatu yang bisa berwujud ilmu, kesaktian, kelebihan diri dari manusia yang lain yang ujung-ujungnya memuaskan rohani/nafsu)
     Apakah yang seperti itu jelek? Masalahnya bukan terletak pada baik dan tidak baik. Bisa baik dan bisa tidak, tergantung dari sisi jiwa yang mana kehendak tersebut timbul atau muncul atau berasal. Yang bisa menjawab itu semua adalah diri kita masing-masing. Untuk menjawab itu semua diperlukan kejujuran hati yang tinggi. Jangan mencari-cari alasan apalagi pembenaran terhadap apa yang kita lakukan dengan alasan atau dalil apa pun.
     Yang dinamakan Bismillah itu adalah melakukan segala sesuatu semata-mata hanya karena Tuhan. Bukan karena yang lain seperti karena malu, karena ingin ilmu, bukan karena ingin damai, bukan karena ingin tenteram, bukan karena ingin berkuasa, bukan karena ingin bahagia, bukan karena ingin sakti, bukan karena ingin dihormati, atau yang lain-lain yang selain karena Tuhan. Apa pun yang berkenaan dengan diri sendiri, sudah  dipasrahkan kepada Tuhan. Bukankah orang yang disukai Tuhan adalah orang-orang yang berserah diri kepadaNya? Artinya bukan peminta-minta dan bukan pula orang-orang yang senang protes.
     Lalu bagaimana dan di mana kedudukan berdo'a? Berdoa harus tetap kita lakukan karena itu adalah perintah tetapi apa yang kita lantunkan di dalam do’a bukan lagi meminta-minta agar keinginan kita tercapai, agar Tuhan menuruti (bc: mengabulkan) permintaan dan kehendak kita.
Do’a yang kita lantunkan di mulut, apa pun isi do'a itu, maka yang terjadi di alam rasa seharusnya adalah pujian tentang keagungan, kesucian, kekuasaan, kebesaran Tuhan dst. Yang seharusnya ada di alam rasa kita adalah sebuah kesadaran kita sebagai manusia yang dzalim, yang kotor, yang fakir, yang rendah derajat, dst. serta rasa butuh kita yang besar kepada Tuhan. Ritual berdo’a bukan lagi digunakan sebagai ajang untuk “memerintah” (bc: meminta) Tuhan untuk “melayani” kebutuhan kita tetapi dipakai sebagai ajang untuk mengagungkan dan memuji Tuhan dengan ketulusan pengagungan.
     Apakah keinginan terhadap kedamaian dan ketentraman, dsb. itu tidak boleh? Siapa yang melarang? Boleh-boleh saja tetapi sayang kan kalau hanya berhenti sampai pada kedamaian, ketentraman dan yang lain-lain yang selain Tuhan? Kedamaian dan ketentraman itu adalah ‘cahaya’ syurga. Apakah mencari syurga itu salah? Siapa yang mengatakan salah? Masalahnya bukan lagi tentang salah dan tidak salah. Masalahnya adalah karena kita ingin ‘bertemu’ Tuhan, masalahnya adalah karena kita sudah mengatakan Bismillah, masalahnya kita sudah mengatakan lillahita’ala, semata-mata HANYA karena Tuhan. Kalau kita mengatakan lillahita’ala tetapi kekuatan inti yang menggerakkan kita yang berasal dari dalam dada kita untuk berdo’a adalah karena ingin harta, misalnya, maka itu bukan lillahita’la tetapi lil harta, bukan karena Tuhan melainkan karena harta, dst. dst. Jadi, yang dimaksud lillahita’ala seharusnya tidak boleh ada alasan yang lain yang selain Tuhan..!! Padahal, kedamaian, ketentraman, ilmu, pengetahuan, kesaktian, kekuasaan, kehormatan, dll. itu bukan Tuhan. Itu semua adalah makhluk (ciptaan) Tuhan. Kalaupun dengan pujian, dengan pengagungan terhadap Tuhan, dengan keasadaran akan kekotoran kita, dengan kesadaran akan ketidakberdayaan kita, kemudian Tuhan memberikan rasa tenteram, rasa damai, kelebihan harta, kelebihan derajad, kekuasaan, dsb. Itu adalah karena anugerah dan  kehendakNya semata. Jangan menjadikan yang selain Tuhan itu sebagai tujuan kalau kita mengatakan lillahita’ala.
     Kalau sudah demikian, mari kita buka lembaran-lembaran perjalan ibadah kita masing-masing. Apa yang terjadi di dalam jiwa kita selama ini?  Apakah kita melakukan segala sesuatu tersebut semata-mata hanya karena Tuhan? Tidak adakah terselip di dalam jiwa kita agar bahagia, agar tenteram, agar dimuliakan manusia, agar sakti, agar bertambah ilmu, agar bertambah ‘harga diri’ kita, agar mencapai tujuan tertentu yang selain Tuhan.?????? Untuk menjawab semua itu, sekali lagi, sangat diperlukan kejujuran diri yang tinggi terhadap diri kita masing-masing.
     Bismillah itu artinya adalah melakukan segala sesuatu hanya dan hanya karena Tuhan semata. Tidak  ada alasan-alasan yang lain selain Tuhan. Jangan bersembunyi di balik hadits-hadist atau ayat-ayat Al qur’an untuk membenarkan perbuatan kita. Apalagi untuk memperlihatkan ‘kebenaran’ di hadapan manusia yang lain, hmm.. terlalu jauh.
     Alqur’an itu jelas-jelas benar, hadist yang sahih juga demikian, tetapi jangan terus digunakan sebagai alasan pembenaran terhadap perilaku hati kita yang sebenarnya tidak benar. Masih bingung..?
     Contoh kasusnya demikian:
     Misalnya, kita mengetahuai ada orang atau sekelompok orang yang berbuat menyalahi syariat Tuhan. Yang tercetus dan yang datang di hati kita pertama kali adalah rasa benci atau kebencian, bahkan amarah, kemudian kita mengingatkan dengan mengatasnamakan Bismillah, semata-mata karena Tuhan kepada diri kita atau kepada orang lain. Apakah ini kejujuran? Tentu saja tidak. Jelas-jelas yang datang di hati kita adalah kebencian, berarti kita mengingatkan orang lain tersebut bukan karena Tuhan tetapi karena kebencian, ketidak cocokkan diri kita kepada perbuatan tersebut.
     Kalau niat yang terdalam dari diri kita sudah bukan Tuhan, maka cara, landasan hati, dan hasil yang dilakukan pun akan jauh berbeda. Bagaimana bisa demikian?  Iya, kalau kita melakukan itu ‘ternyata’ bukan karena Tuhan, maka (1.) Ketika kita mengingatkan orang, tidak lagi berlandaskan kasih sayang. Padahal yang mengikuti  Bismilah itu adalah Arohmanirrohim. ‘dengan nama Allah ( Bismillah )yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang (Arohman Ar Rohim). Tentu saja landasan hati kita dalam mengingatkan atau menegur orang haruslah dengan  rasa kasih dan rasa sayang yang benar-benar hadir di dalam jiwa, bukan yang selainnya seperti amarah, benci, dll. (2.) Dalam menyampaikan teguran atau mengingatkan tentu dengan cara-cara atau perbuatan  yang menunjukkan rasa kasih dan sayang. Bukan dengan merusak, bukan dengan cara mencaci, bukan dengan cara mengancam, bukan dengan cara menyakiti, dst. Hal ini sering kita lihat di televisi atau kita dengar dari radio bagaimana keagungan Tuhan (Allahu Akbar) diteriakkan dengan cara-cara yang tidak menunjukkan keagungan orang yang menghayati keagungan Tuhan bahkan dengan merusak penuh kebencian, bukan dengan kasih sayang yang ada di dalam dirinya. (3.) Hasil dari teguran dan mengingatkan haruslah diserahkan kepada Tuhan. Tidak ada manusia atau makhluk Tuhan apa pun yang bisa menyadarkan manusia lain kecuali Tuhan. Siapa pun.! Tuhan sendirilah yang mempunyai wewenang untuk menyadarkan manusia. Oleh karena itu, para nabi yang mulia, yang bersih jiwanya pun tidak bisa menyadarkan manusia lain pada jamannya secara menyeluruh, apalagi kita manusia yang hidup pada zaman sekarang yang tentunya jauh lebih kotor jiwanya. Jadi, kalau berhasil jangan diaku sebagai hasil perbuatan kita dan kalau tidak berhasil menyadarkan tidak menjadikan hati/jiwa kita menjadi jengkel apalagi marah. Itulah yang dinamakan Bismillah. Melakukan segala Sesuatu semata-mata hanya karena Tuhan.
Contoh kasus yang lain:
     Kita asyik melakukan dzikir yang lama dan konsentrasi (khuyuk). Coba mari kita koreksi apa yang terjadi  di dalam jiwa  kita yang paling dalam. Apakah dengan dzikir-dzikir kita tersebut kita semata-mata ingin ‘bertemu’ Tuhan dan mengangungkanNya dengan seagung-agungnya ketulusan kita ataukah ada tujuan yang lain yang selain Tuhan di dalam dzikir tersebut? Misalnya ingin mendapatkan ketanangan, ketentraman, ingin mendapatkan mukasyafah,ingin memperoleh rezeki, ingin memperoleh jabatan, ingin memperoleh kemuliaan dibandingkan dengan orang lain dsb.dsb? Yang bisa menjawab dengan jujur adalah diri kita masing-masing. Sebab goresan-goresan hati tersebut lembut tersembunyi di balik nafsu kita yang menginginkan kebaikan (nafsu mutmainah).
     Sekali lagi, perbuatan yang saya tuliskan sebagai contoh tersebut di atas tidaklah salah. Baik-baik saja tetapi hal tersebut tidak mencerminkan perilaku hamba yang lemah yang mengagungkan Tuhan yang maha Agung. Perbuatan tersebut menunjukkan bahwa kita kurang tulus dalam menghamba kepada Tuhan karena masih ada kepentingan-kepentingan yang selain Tuhan. Artinya, sesungguhnya Tuhan hanya dijadikan sebagai “alat” untuk memenuhi keinginan-keinginan kita. Kalau sudah demikian kemudian mana yang hamba dan mana yang majikan (Tuhan)??.
                                    Wallahu ‘Alam

Ø  >  Kritik, saran, cacian, makian, yang bertujuan untuk perbaikan ke arah yang benar beserta solusinya,  
        sungguh penulis harapkan. Tinggalkan komentar Anda di kolom komentar di bawah ini. Terima Kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar