Cari Blog Ini

Cari Blog Ini

Selasa, 14 Juni 2011

> PANCASILA

     PANCASILA…Kok masih banyak orang yang menolak dan tidak sependapat dengan Pancasila sebagai dasar negara. Aneh.! Lima sila PANCASILA sebagai dasar Negara dan BURUNG GARUDA sebagai LAMBANG NEGARA sebenarnya adalah cermin hidup setiap manusia di dunia. Dan bangsa Indonesialah yang mampu mengkristalisasi dan merumuskannya ke dalam bentuk tata keepemerintahan dan tata kenegaraan.
     Atas dasar apa PANCASILA dan BURUNG GARUDA itu ditolak.? Karena kurang afdol..? Karena ketinggalan zaman..? Karena tidak mampu menciptakan keadilan..? Karena tidak mampu menata bangsa..?
Karena tidak sesuai dengan ajaran agama..?
     Hmm… nanti dulu.!
     Jangan-jangan kita yang belum memahami Pancasila.?
     Pancasila terlahir lewat perenungan (tafakur) orang-orang yang prihatinnya sangat tinggi dan dari orang-orang yang beragama serta dari orang-orang yang sangat mendambakan kesejahteraan bangsa Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya.  Masa dari orang-orang seperti itu akan dilahirkan sesuatu yang jelek ? Untuk “melahirkan” Pancasila, secara hukum lelaku (Jw) diperlukan ‘penderitaan atau lelaku’ selama berabad-abad dengan wujud penjajahan Belanda, Jepang, Sekutu dll. Dari lelaku yang cukup panjang  dan dari rasa perihatin yang cukup lama itulah kemudian terlahirlah “bayi mungil” yang bernama Pancasila dan Burung Garuda sebagai ‘wujud raga’nya atau lambangnya.
     Pancasila (sebagian besar) terlahir lewat ‘budaya Jawa’ yang penuh dengan simbol-simbol, penuh dengan sanepan-sanepan yang tidak segera dapat dipahami sebelum ‘masuk’ ke dalamnya. Walaupun banyak terinspirasi dari budaya jawa, tetapi kandungan isinya bersifat universal. Kandungan isinya sebenarnya merupakan gambaran setiap manusia di dunia ini, siapapun dia dan dari bangsa apapun dia berasal.
     Pancasila sendiri, sila-silanya,  tersusun secara sistematis, urut, runtut, dan tidak bisa diacak atau dibolak-balik.  Bagaimana tidak.? Urutan-urutan sila dalam Pancasila merupakan tahapan atau tangga setiap manusia untuk menapak dari satu tangga ke tangga yang lain guna mencapai kesempurnaan hidup, guna mencapai kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Sila-sila dalam Pancasila merupakan rangkaian yang tersusun rapi  dan bertahap yang juga merupakan alur yang mesti dilalui setiap manusia untuk mecapai kebahagiaan yang hakiki, bukan untuk mencapai kesenangan hakiki. ( Beda kesenangan dan kebahagiaan insya Allah akan penulis tulis dalam bagian yang lain).
     Untuk itu dalam memahaminya pun harus runtut dan urut.
     Hlo kok begitu..?
     Ya,coba bagaimana bisa dibolak-balik ?
1.           (sila pertama) Setiap orang wajib ‘mengenal’ Tuhannya terlebih dahulu (Ketuhanan yang Maha Esa). ‘Mengenal’ Tuhan secara kafah (lengkap) jangan sepotong-potong. Harus mengenal Tuhan (ma’rifatullah) sebagai suatu kesatuan (Esa). Jangan dipenggal-penggal sesuai dengan pemahaman setiap nafsu manusia. Ada “Robbi” ada “Robbana” ada Al Ghofur, ada Ar Rohim, ada Ar Rohman, ada Gusti Pangeran, ada Gusti Allah, dll. Banyak sebutan tetapi tetap saja SATU (Esa). Dan itu WAJIB dipahami dan  dikenal oleh setiap umat manusia yang merasa bahwa dirinya adalah ciptaan Tuhan dan hamba Tuhan. Di dalam ajaran Islam,  untuk “mengenal” Tuhan, maka manusia harus mengerti, memahami dan masuk mengamalkan (Jw: slulup) ke dalam pemahaman yang dipelajarinya. Mengenal 99 Asma Allah, sifat-sifatNya, dan ‘perbuatan-perbuatan’Nya. Tidak cukup hanya menghafal dan mengerti artinya, tetapi harus benar-benar slulup ke dalam rasa dan suasananya, serta  dijadikan nafas hidupnya dalam kehidupan sehari-hari.
     Sebagai misal, untuk memahami Tuhan sebagai Ar Rohman ( Yang Maha Pengasih ), selain dihafalkan, dimengerti artinya, maka harus juga dislulupi suasana Ar Rohman dan dimukimkan ke dalam rasa kemudian dijadikan ‘nafas hidupnya”. Artinya, di dalam berperilaku sehari-hari, dalam berinteraksi dengan sesama makhluk Tuhan di bumi ini, siapa pun dia dan apapun ia (karena tumbuhan, hewan,benda2 ciptaan Tuhan juga makhluk Tuhan) harus dengan rasa Ar Rohman, denga rasa kasih sayang. Tidak boleh ada kebencian di dalam hati apalagi di dalam rasa. Begitu juga untuk memahami Asma-asma yang lain ( Ar Rohiim, Al Qudus, As Salam, Al Mu’min, Al Muhaimin, dst.)yang mencapai 99 Asma tersebut, maka cara pengamalannya harus seperti itu. Laku Kresna (dalam pewayangan Jawa). Maksudnya harus tulus, harus sama antara yang lahir, dan yang batin. Seperti tokoh Kresna di dalam pewayangan yang hitam kulitnya, hitam tulangnya, dan hitam darahnya. Artinya lahir dan batin, jiwa dan raga, penampilan dan rasa yang ada di dada, SAMA. Bukan lips servis, bukan basa-basi, harus apa adanya dan yang pasti harus jujur. Jujur kepada dirinya sendiri, juga jujur kepada orang lain, dan juga jujur terhadap perilakunya.
     Itu salah satu tahap ‘mengenal’ Asma Allah. Selain mengenal Asma Allah juga harus ‘mengenal’ sifat-sifat Allah yang wujud, kidam, baqo’, mukolafatul lil khawadis, Wahdaniyah, Irodah, dan seterusnya. Baik yang wajib maupun yang mokhal ( tidak mungkin)
     Juga harus mengenal aturan-aturan (syariat) Tuhan untuk berbuat dan berperilaku menggunakan raga di muka bumi ini, mengenal perbuatan-perbuatan Allah, serta memahami Kalam-kalamullah (di ajaran Islam berupa Al Quran)
     Semua pemahaman tersebut harus Kafah, menyeluruh, tidak boleh dengan pemahaman yang sepenggal-penggal. Selain itu juga harus dengan keYAKINan hati. Tidak boleh ragu-ragu atau was-was.. Menumbuhkan YAKIN Ini yang kadang terasa berat dan sulit, padahal untuk mendapatkan rasa yakin terhadap materi/ilmu yang diterimanya atau yang dipelajarinya atau yang didapatkannya, seseorang harus pernah ‘sampai’ ke ‘tempat rasa’ yang di pelajarinya. Ibarat untuk mengetahui rasa manis yang sesungguhnya (ma’rifat terhadap rasa manis), maka seseorang harus pernah memasukkan gula atau yang sejenisnya yang mempunyai rasa manis ke lidahnya. Kalau belum pernah memasukkan benda yang manis ke lidahnya, sebenarnya ia belum mendapatkan yakin terhadap rasa manis yang sesungguhnya. Selihai, sepandai, semahir apa pun ia mampu menjelaskan dengan kata-kata, dengan contoh-contoh terhadap rasa manis tanpa pernah memasukkan benda yang manis ke lidahnya, maka maqamnya/ kedudukannya masih maqam percaya, belum maqam yakin. Pendapatnya terhadap rasa manis amat sangat tergantung kepada referensi yang ia dapatkan dan yang ia terima baik melalui membaca, dari orang lain yang dianggap ahli, maupun dar pengalaman nafsunya. Kepercayaannya masih bisa diubah oleh situasi dan kondisi, tetapi kalau YAKIN, maka tidak seorangpun mampu mengubahnya karena  ia telah sampai ke’ tempatnya’(ma’rifat). Padahal yang namanya IMAN itu adalah YAKIN, bukan percaya. (Insya Allah kalau Allah memang berkehendak hal yakin dan percaya ini akan penulis tulis dalam bab tersendiri)
     Dari sedikit uraian ini, lalu dengan alasan yang mana lagi pemeluk agama menolak Pancasila.?

2.      (sila kedua) Kalau manusia sudah ‘mengenal’ Tuhan (ma’rifatullah) secara benar dan secara kafah/menyeluruh,  maka otomatis manusia itu akan menjadi manusia sejati atau manusia yang sesungguhnya. Manusia yang sebenarnya manusia, manusia yang utuh  jiwa-raganya. Maksudnya manusia sejati adalah manusia yang mengerti tata krama hidup, baik tata krama terhadap dirinya sendiri, tata krama terhadap sesama, tata krama terhadap seluruh makhluk,  tata krama terhadap seluruh semesta raya, dan lebih-lebih tata krama terhadap Tuhan.  Manusia yang utuh baik dari segi tampilan (raga) maupun yang tersembunyi (jiwanya). Tampilan raganya berupa manusia dan jiwanya juga manusia.   
     Maksudnya….?
     Karena banyak sekali yang raganya manusia, tampilan sosoknya manusia tetapi jiwanya atau sifat yang berkuasa di dalam raga manusia adalah sifat-sifat kebinatangan dan sifat-sifat iblis. Hloh..? Iya, yang namanya manusia, adalah makhluk hidup yang paling sempurna yang berakal dan diberi piranti atau alat yang lengkap untuk menjadi khalifah/utusan Tuhan di muka bumi ini. Tentunya dalam nggelar
Atau melaksanakan amanah Tuhan juga harus dengan nilai-nilai kemanusiaan.
     Tetapi ternyata banyak sekali yang unsur raganya berupa manusia, sosok raganya manusia tetapi sebenarnya yang berkuasa di dalam jiwanya, kekuatan yang menggerakkan raganya adalah sifat dan perilaku hewan. Sifat hewan adalah makhluk yang berbuat menurut nalurinya. Binatang tidak mengerti baik-buruk, tidak tahu halal-haram, tidak paham tepa salira, tidak memakai tata karma, tidak menggunakan aturan kebajikan. Satu-satunya aturan yang dipakai adalah kekuatan. Siapa kuat dialah yang berkuasa. Kalau ada manusia yang berperilaku seperti ini, maka dia belum menjadi manusia yang utuh karena salah satu unsur di dalam dirinya atau sifat yang digunakan untuk menapaki hidup di bumi bukan manusia melainkan sifat binatang.
     Ada lagi manusia yang raganya atau tubuhnya berupa manusia tetapi di dalamnya adalah IBLIS. Mengapa? Karena yang menguasai jiwanya adalah sifat-sifat iblis. Sifat iblis adalah suka protes, suka maido, suka tidak menerima keadaan, suka marah, suka dengki, iri, tidak patuh, ujub, suka membangga-banggakan diri, suka ‘mengecilkan’ orang lain, suka menipu, riya’,  suka menyebarkan berita tentang  kejelekan orang lain, suka memfitnah, suka menggunjing,dan sebagainya. Ingat bagaimana kisah iblis yang merasa lebih baik (ujub) terhadap makhluk yang akan diciptakan Tuhan (Adam). Ingat bagaimana iblis merasa lebih tahu daripada Tuhan tentang makhluk yang akan diciptakannya dan kemudian melakukan protes terhadap rencana Tuhan tersebut. Ingat bagaimana iblis menipu nabi Adam agar makan buah kuldi. Ingat juga bagaimana iblis tertawa bangga melihat Adam dan Hawa tertipu olehnya dan kemudian diturunkan ke muka bumi.
     Iblis terbuat dari api, sifatnya panas. Kalau di dalam jiwa manusia masih sering ,panas’ dengan kemarahan-kemarahan, dengan kebencian-kebencian dan yang sejenisnya, maka sebenarnya raganya sajalah yang berupa manusia tetapi kekuatan yang mengendalikan di dalamnya adalah Iblis.
     Bisa jadi manusia tersebut sudah mengerti tata karma, perilakunya sopan dan tutur katanya santun, tetapi di dalam jiwanya bersemayam kebencian, kemarahan,riya’, ujub, sombong, berbangga diri, dan yang sejenisnya.
     Manusia yang sudah terbebas dari segala sifat kebinatangan, manusia yang sudah terbebas dari sifat-sifat iblis itulah yang dinamakan manusia yang utuh, manusia yang  sempurna ( Insan Kamil Kamilun Insan ). Manusia yang seperti itu adalah manusia yang pasti akan berbuat adil terhadap sesama, tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan pangkat, kekayaan, kedudukan, dsb. Semua manusia sama di hadapannya, semuanya adalah makhluk Tuhan apapun profesi dan nasibnya. Semua manusia akan disikapi di dalam jiwanya dengan sikap yang sama, yang penuh sopan santun, yang penuh tata-krama, yang penuh dengan etika, penuh dengan penghargaan dan penghormatan. Dengan kata lain, manusia ini adalah manusia yang beradab, manusia yang mengerti tata karma dan sopan santun, yang bisa menempatkan dan memposisikan dirinya sesuai dengan ‘aturan (syatriat ) yang dikehendaki oleh Tuhan berdasarkan pemahaman yang utuh terhadap Tuhan seperti pada sila pertama Pancasila.
     Inilah manusia yang ADIL dan BERADAB (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab). Tidak ego, tidak mementingkan dirinya sendiri, tidak mementingkan kelompoknya , tidak menonjol-nonjolkan  dan tidak memaksakan pahamnya masing-masing.  Manusia yang seperti ini adalah manusia yang Adil dan Beradab / bertatakrama yang didasarkan atas kesadaran sebagai hamba Tuhan. Bukan karena apa-apa. Manusia yang adil dan beradab karena manusia menyadari benar sebagai kholifah Tuhan di atas bumi ini.

3.           (sila ketiga)Kalau semua manusia sudah mengerti kesejatiannya sebagai manusia. Manusia yang adil dan punya sopan santun, punya tata karma (beradab), maka apa masih ada kemungkinan terjadinya korupsi, pertengkaran, dan peperangan ? Tidak kan ? Otomatis manusia itu akan bersatu (Persatuan Indonesia). Bersatu dalam sebuah koridor pemahaman bahwa kita (manusia) dihadirkan di muka bumi ini sebagi utusan Tuhan(kholifah) untuk menyebarkan rahmad dan kasih sayang terhadap seluruh isi alam, apalagi terhadap sesama manusia (rahmatan lil Alamin).

4.           (sila keempat) Kalau semua manusia telah menjadi seperti yang ada di sila kesatu, kedua, dan ketiga, apa dalam kehidupan bermasyarakat  lalu tidak ada perbedaan pendapat terhadap sesuatu ? Tentu saja tetap ada tetapi perbedaan tersebut bukan lagi perbedaan kepentingan dan perbedaan dalam hal yang buruk, melainkan  perbedaan pendapat dalam koridor manusia yang beradab yang telah mengenal Tuhannya. Karena perbedaan itu tetap ada, maka yang ada kemudian adalah sikap musyawarah (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan) Musyawarah yang terjadi bukan untuk mencari menangnya sendiri atau kuat-kuatan pendapat. Musyawarah bukan lagi untuk menunjukkan kepandaian dan kepiawaian diri, tetapi musyawarah yang berdasarkan Hikmah Kebijaksanaan yang tidak mementingkan diri atau kelompok (adil) dan bermusyawarah dengan dasar kasih sayang (hikmah) dan penuh dengan kebijakan (bijaksana). Maka manusia yang telah menjadi manusia yang sejati atau manusia yang sesungguhnya yang mengenal Tuhan (ma’rifatullah) pasti bersatu. Kalau terjadi perbedaan pendapat otomatis tidak akan memaksakan kehendak tetapi akan diselesaikan dengan cara bermusyawarah yang penuh hikmah dan penuh dengan kebijaksanaan dengan menggunakan satu-satunya tolok ukur adalah kebenaran Tuhan dan Ridha Tuhan. Bukan kebenarannya masing-masing. Karena kebenaran yang dihasilkan manusia itu bersifat relatif dan subyektif.
    
5.           (sila kelima)Kalau semua manusia bisa ‘duduk’ dengan tenang pada sila satu sampai keempat, maka otomatis manusia itu akan adil (keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia). Adil bisa terjadi kalau manusia itu mengenal Tuhan, menyadari hakikat dirinya sebagai manusia yang diutus Tuhan di muka bumi, yang bertata karma, yang beradab, yang tidak didominasi perilaku kebinatangan, yang jiwanya tidak dikuasai iblis, yang bersatu dan menyelesaikan masalah dengan selalu bermusyawarah dengan cara-cara yang bijaksana dengan penuh hikmah untuk semata-mata mencari Ridho Tuhan. Bangsa seperti inilah yang digadang-gadang bangsa di seluruh dunia khususnya bangsa Indonesia.    
     Di sejarah ‘mitos’ tanah jawa diketemukan istilah Jejere Ratu Adil”. Siapa yang jejer atau ‘berdiri’? Yang ‘jejer’ atau yang berdiri adalah setiap insan atau setiap manusia itu sendiri. Makanya untuk jejer tersebut diperkirakan aka nada “revolusi alam”. Mengapa harus revolusi alam? Karena yang bisa menyeleksi siapa manusia yang benar-benar manusia, mana manusia yang di dalamnya binatang, mana manusia yang di dalamnya iblis hanya Tuhan lewat alam semesta. Kalau yang menyeleksi manusia, maka akan terjadi banyak kepentingan. Selain itu, pada jaman sekarang, sifat manusia dan sifat yang bukan manusia  sudah “bersatu/manunggal” di dalam dada hampir di seluruh manusia. Sehingga sulit untuk membedakan mana manusia, mana iblis, dan mana binatang karena perilakunya sudah sama saja. Tidak ada bedanya. Satu-satunya yang jelas-jelas membedakan adalah wujud raganya saja. Revolusi alam akan menyeleksi manusia yang benar / manungsa sejati dan manusia yang palsu.   
     Kok Ratu Adil ?Siapa ratu nya ?
     Ratunya ya” adil” atau keadilan itu sendiri. Seluruh manusia sudah menjunjung tinggi / menjadikan ‘ratu’ nilai-nilai keadilan sesuai dengan pemahaman yang ada pada Pancasila tersebut yang diridhoi Tuhan tentunya. Walaupun begitu, akan tetap ada simbol manusia yang akan menduduki pemimpin. Tetapi sang pemimpin tersebut  hanya sebagai simbol belaka karena setiap insan sudah bisa adil dan bijaksana terhadap dirinya dan lingkungan sekitarnya (alam semesta).

Pertanyaannya kemudian,
1.      Apakah hal semacam ini hanya bangsa Indonesia yang menginginkan..? Saya yakin TIDAK !
2.      Apakah ajaran yang seperti itu bertentangan dengan ajaran agama ? saya yakin TIDAK !
3.      Apakah yang demikian itu buruk ? Saya yakin juga TIDAK !
4.      Mengapa Indonesia yang berdasarkan Pancasila bisa amburadul seperti ini? Karena Pancasila sudah dibuang dan ditinggalkan oleh Bangsa Indonesia. Pancasila hanya diucapkan, tidak diamalkan sebagai Ruh kehidupan dalam kehidupan sehari-hari!

     Oleh sebab itu,  PANCASILA disebut sebagai kristalisasi jiwa manusia. Siapa saja yang merasa dirinya manusia.
Selanjutnya, untuk melambangkan /simbul terhadap manusia yang berpancasila tersebut, maka kemudian lahirlah LAMBANG BURUNG GARUDA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar